Penyebaran berita bohong alias hoaks di negeri ini tidak bisa dianggap enteng. Apalagi, jumlah pengguana internet diperkirakan menembus 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen dari jumlah penduduk di seluruh Indonesia.
Oleh karena itulah, peran media, terutama yang berbasis siber sangat penting untuk membantu masyarakat menangkal badai berita bohong yang semakin hari semakin kencang berembus serta meresahkan tersebut.
Hal inilah pesan utama dalam Lokakarya Media II bertajuk ’Pengenalan Media Siber, Berita Hoaks, Serta Peraturan yang Terkait’ yang dilaksanakan di The Singhasari Resort, Batu, pada 5 dan 6 Agustus 2019 tersebut.
Acara ini diinisiasi oleh SKK Migas dengan mengundang 34 redaktur media cetak, elektronik, online dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lokakarya ini juga diikuti perwakilan dari Kontraktor Kontrak Kerjasama Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara (Jabanusa).
Dalam materinya, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) periode 2017-2020 Wenseslaus Manggut mengatakan bahwa masyarakat harus lebih hati-hati ketika menerima informasi baru. Terutama yang berasal dari media sosial. Sebab, bisa saja itu adalah berita palsu.
Untuk mengukurnya, Wenseslaus mengatakan bahwa ada beberapa ciri bahwa berita tersebut bisa saja mengandung hoaks. Antara lain kabar tersebut sangat bombastis, sensasional, menumpangi isu yang sedang ramai, dan seringnya menjelek-jelekkan seorang tokoh secara berlebihan dan cenderung ekstrem. ’’Jadi memang harus diverifikasi betul kebenarannya,’’ ucapnya.
Wenseslaus menambahkan bahwa dari studi yang dilakukan oleh sejumlah akademisi dari New York University dan Princeton University yang sudah dimuat dalam lama Science Advance, orang tua justru menjadi sosok kunci dalam penyebaran hoaks.
Dalam penelitian yang dirilis pada 2016 yang berbasis di Facebook tersebut, warga usia 65 tahun ke atas, adalah golongan penyebar hoaks terbanyak dengan jumlah mencapai 11 persen.
Sementara itu, kelompok usia 18 sampai 29 tahun (termuda) hanya 3 persen saja yang menjadi penyebar hoaks. Bahkan, tambah Wenseslaus, golongan usia 65 tahun ke atas, menyebarkan hoaks lebih banyak hampir tujuh kali lipat ketimbang pengguna media sosial termuda.
AMSI, imbuh Wenseslaus, terus berupaya meningkatkan pengetahuan, ilmu, dan kadar profesionalitas dari para anggotanya. ’’Terutama melalui pelatihan-pelatihan yang kami lakukan,’’ ucapnya.
Pembicara lain yang hadir dalam lokakarya ini adalah Bupati Magetan yang juga mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Suprawoto.
Sebagai salah seorang tim perumus, Suprawoto menjelaskan tentang awal lahirnya Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang lebih kondang dengan nama UU ITE itu.
Menurut Suprawoto, rancangan undang-undang ini dirumuskan bersama oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, dan bekerja sama dengan tim Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tim asistensi ITB, dan Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia.
Suprawoto sadar bahwa banyak yang menyebut bahwa UU ITE ini sebagai pasal karet. Terutama pasal 27 ayat 3 yang berbunyi ’’Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik,’’.
Soal pasal ’’penghinaan dan pencemaran nama baik ini’’ memang banyak dipermasalahkan dan dikritik. Faktanya, berdasarkan studi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak undang-undang ini lahir pada 2008. Dan setengahnya, memang tentang pencemaran nama baik.
Mengenai hal tersebut, Suprawoto mengatakan tujuan undang-undang ini adalah semata untuk melindungi warga Indonesia. Juga sebagai rambu-rambu bahwa orang harus lebih berhati-hati lagi dalam dunia digital. ’’Kalau tidak ada yang salah, mengapa takut?,’’ ucapnya.
Hal senada diungkapkan pembicara lain, Kanit 1 Subdit V/ Siber Ditreskrimsus Polda Jatim Kompol Agung Pribadi. Dia mengatakan bahwa masyarakat harus sangat awas agar tidak menjadi korban hoaks atau bahkan turut serta menyebarkan hoaks.
Sering kali terjadi, tambah Agung, materi hoaks datang dari jauh sekali dan sulit terlacak karena begitu intens dan seringnya dibagikan. ’’Oleh karena itu, perlu sekali hati-hati ketika men-share sebuah berita atau meme. Menambahkan narasi pada produk hoaks yang bukan buatan sendiri akan tetap terkena jerat pidana,’’ ucap Agung.
Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa Nurwahidi sangat berharap bahwa media mampu mengedukasi masyarakat dari bahaya hoaks. Jadi, publik harus lebih lebih waspada ketika mendapatkan informasi baru terutama dari media sosial.
sumber : malangtoday.net