Ketua Dewan Penasihat dan Pertimbangan AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) A Sapto Anggoro mengatakan, apapun pilihan yang Anda tentukan kemudian dalam bisnis media online, yang pasti harus ada keberlanjutan.
Hal ini penting, karena itu kunci utama untuk mewujudkannya dengan cara mendapatkan penghasilan atau revenue dari usaha media tersebut.
Apabila revenue media online jelas, kata Sapto, pemilik media akan bebas menentukan arah perusahaan apakah akan menjadi anak kandung bahkan sampai jadi legenda, atau jadi komoditas, atau jadi startup rintisan yang menguasai pasar media.
“Bicara bisnis media online, ada tiga hal yang bisa disampaikan,” ujar Sapto, dalam konferensi nasional “The Biggest Challenge of Journalism in Digital Era” untuk memperingati 25 tahun lahirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Pertama, menurut Sapto, perusahaan sebagai objek bisnis atau komoditi. Artinya, medianya dibangun dibesarkan untuk dijual. Kedua, media sebagai bagian dari produk untuk ditumbuhkembangkan.
Model produk ditumbuhkembangkan dibagi dalam dua bagian. Ditumbuhkembangkan dengan cara bisnis konvensional dimana produk konten media sebagai revenue stream dan mengambil keuntungan dividen dari laba atas bisnis media itu sendiri.
Ditumbuhkembangkan lainnya dengan cara model bisnis start-up, dimana pendiri media mengundang investor untuk pengembangan medianya. Model ini melalui beberapa kali series investasi, sehingga nilai perusahaan semakin mahal dan mahal, sahamnya naik terus, dan pendiri menikmati dari kenaikan saham, yang diperjualbelikan, atau keuntungan dari situ sebelum akhirnya exit.
Ketiga, pengelolaan tradisional dan menjadikan medianya sebagai anak kandung. “Artinya, berapapun nilai yang diberikan meski dengan judul investasi, tidak akan diberikan, karena perusahaan dan brand medianya sudah menyatu dan identik,” katanya.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy mengatakan, tantangan dalam transformasi digital secara umum dapat dibagi dua: tantangan dari luar dan dari dalam ruang Redaksi.
Menurut Ninuk, tantangan dari luar secara umum adalah menurunnya pendapatan perusahaan media di tengah melimpah ruahnya informasi yang didapat secara gratis. Tantangan lain adalah turunnya kepercayaan warga terhadap media digital.
Pemenang Call for Papers Rana Akbari Fitriawan mengatakan, jurnalisme berubah di seluruh dunia sebagai akibat dari perkembangan teknologi digital dan begitu pula sebaliknya. Selain melahirkan peneliti yang optimis atas masa depan jurnalisme, perubahan ini juga memicu kritik atas ekses yang muncul antara lain berkaitan dengan peran jurnalis terutama dalam memikul tanggung jawab sebagai salah satu pilar demokrasi.
Kemunculan jurnalisme digital sebagai konsekuensi dari digitalisasi media menunjukkan bahwa ekses itu begitu besar dan jurnalisme berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.
Pembicara lainnya dalam konferensi ini Pemimpin Redaksi CNN TV Titin Rosmasari. Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria yang membawakan materi “Tantangan Industri Media di Indonesia; Mempertahankan jurnalisme bermutu di tengah disrupsi digital.”
Kemudian jurnalis SultraKini.com M Djufri Rachim menyampaikan “Privishing dan Media Abal-abal Suatu Ancaman Kebebasan Pers yang Tidak Kentara”, Albertus Magnus Prestianta dan Adi Wibowo Octavianto dari Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara tentang “Menakar Potensi Kanal YouTube Sebagai Sumber Pendapatan Pasif Media.”
sumber : darilaut.id