Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di media saat pandemi saat ini dan entah kapan berakhirnya masih terlalu dini untuk dilakukan, karena masih banyak tahapan yang bisa dihindari dari pemutusan hubungan kerja bagi perusahaan media daring.
Hal itu disampaikan Ketua Divisi Organisasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Suwarjono dalam diskusi daring “Menjaga Iklim Pers Yang Sehat Bagi Perusahaan dan Pekerja Media” yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta dan LBH Pers 28 Juli 2020.
Jono, biasa pemimpin redaksi suara.com itu disapa, mengungkapkan hasil survei internal AMSI kepada 320 anggota pada 25 April-5 Mei 2020 terhadap platform media siber.
AMSI menemukan ada empat media melakukan PHK. Selain itu, 20 persen anggota melakukan pemotongan gaji dan tunjangan hari raya, 15 Persen menunda gaji, dan 80 persen anggota membatalkan perekrutan karyawan baru.
“Kalau pandemi masih terus berlangsung dan pendapatan juga enggak naik. Bisa aja mereka memikirkan apakah bergabung dengan media lain atau tutup, ini belum tahu,” ujar Jono.
Namun, menurut Jono, lesunya perekonomian tidak ujug-ujug membuat perusahaan media melakukan PHK pekerja media. Baginya, dengan adanya work from home (WFH) justru dapat menekan biaya operasional media.
Selain itu, media online harus membangun kolaborasi dengan media daerah dengan menggunakan metode iklan progamatik, yakni transaksi iklan yang berjalan secara otomatis berdasarkan rekam jejak dan dioptimasi dengan teknologi. Ini upaya untuk memperkuat ekosistem media.
“Isu PHK masih terlalu dini kalau dilakukan sekarang ini, karena masih banyak tahapan yang bisa dilakukan oleh berbagai media,” kata Jono.
Senada dengan AMSI, Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli menekankan agar perusahaan media tidak melakukan tindakan yang merugikan pekerja media. Perusahaan media harus terbuka dengan menyampaikan kondisi perusahaan kepada pekerja media.
Menurut Arif, ketika perusahan belum bisa mengatasi persoalan kesulitan keuangan maka pilihan terbaik dari yang terburuk adalah dengan membagi “sakit” yang dialami. Misalnya, kesulitan keuangan perusahaan itu dibagi dengan pemotongan gaji kepada seluruh awak perusahaan dari karyawan level atas hingga level bawah. “Akan tetapi dengan berpedoman dengan aturan yang ada,” kata mantan pemimpin redaksi Majalah Tempo itu.
Dewan Pers bersama organisasi pers membentuk Desk Media Sustainibility untuk mengatasi kondisi keuangan perusahaan media. Dalam pertemuan Dewan Pers, organisasi pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate secara virtual pada 24 Juli lalu, pemerintah menyepakati memberikan insentif kepada perusahaan media.
Kata Arif, ada enam insentif yang diberikan, seperti pembebasan pajak PPH 21, penundaan biaya listrik, penundaan biaya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, potongan pajak korporat, biaya impor kertas, dan alokasi anggaran iklan lembaga dan kementerian untuk media.
Posko pengaduan ketenagakerjaan yang dibuka AJI Jakarta dan LBH Pers hingga 28 Juli 2020 telah menerima 110 pengaduan persoalan ketenagakerjaan. Jenis persoalan ketenagakerjaan yang diadukan adalah penundaan upah, pemotongan upah, dirumahkan dengan pemotongan upah, PHK dengan pesangon, dan PHK tanpa pesangon. Persoalan ketenagakerjaan itu terjadi di perusahaan media di semua platform, yakni media cetak, daring, televisi, dan radio.
Pengacara publik LBH Pers Ahmad Fathanah menjelaskan dari 110 pengaduan itu tidak serta-merta mencerminkan jumlah korban yang mengalami persoalan ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari formulir pengaduan yang disebar secara daring sejak Maret lalu, ada satu pengaduan yang mewakili beberapa orang yang mengalami kasus di perusahaan yang sama. “Jadi ketika dikalkulasi itu jumlahnya bisa ratusan,” ujar Ahmad.
Kebanyakan perusahaan media berdalih melakukan efisiensi untuk bisa bertahan di masa pandemi. Namun pada saat mendalami lebih lanjut pengaduan yang masuk, fakta yang ditemukan perusahaan media tidak menggunakan mekanisme Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan terkait pasal 164 serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011. Putusan MK itu menyatakan bahwa alasan efisiensi harus dibarengi dengan tutupnya perusahaan secara permanen.
“Melakukan efisiensi namun tidak sesuai dengan ketentuan,” kata Ahmad.
sumber : beritajatim.com