Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wens Manggut, membeberkan sejumlah dampak negatif yang dihasilkan oleh konten-konten yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan disinformasi.
Konten-konten tersebut, jelas Wens, memiliki daya rusak yang besar. Tidak saja bagi masyarakat, tapi juga bagi pemerintah. Sebab mengaburkan informasi yang sebenarnya.
“Pemerintah atau publik perlu merekam pendapat original. Bayangkan kalau yang original itu ditangkap lewat trending. Padahal itu permainan yang tadi disebut di belakang layar. Oleh si ini si itu, jadilah dia viral, jadilah dia diperbincangkan khalayak,” ujar dia, dalam diskusi ‘Buzzer, Media, dan Kita’, Kamis (18/6).
Tentu, pihak-pihak seperti buzzer yang bermain di balik konten-konten tersebut punya tujuan agar isu yang sedang dibangunnya menjadi besar. Atau jika meminjam istilah Twitter, menjadi trending topic.
“Bayangkan kalau aspirasi digital itu ditangkap seperti itu. Atau itu ditangkap sebagai aspirasi dunia digital. Betapa tersesatnya kita kan? Betapa tersesatnya juga pemerintah kalau dia menangkap bahwa itu adalah aspirasi,” terang Wens.
“Pemerintah juga akan meraba hal yang salah di situ. Dia anggap bahwa ini suara publik, padahal ada algoritma di belakangnya yang bermain,” imbuh dia.
Platform media sosial juga akan dirugikan. Sebab berkembangnya konten-konten negatif dapat mencoreng citra platform itu sendiri.
“Platform bakal rugi karena setiap hal kayak begini terjadi image platform juga rusak dia adalah arena orang berkelahi nya orang dengan tidak sopan,” terang dia.
Twitter Wadah Buzzer Cari Perhatian
Dalam kesempatan yang sama, Praktisi Media Social sekaligus Pendiri Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengatakan Twitter menjadi salah satu tempat bagi para buzzer untuk ‘mencari perhatian’.
Buzzer, jelas dia, akan mendesain sehingga isu yang mau dimunculkannya masuk ke jajaran trending topic Twitter. Ketika isu yang diangkat masuk trending topic, maka ada kemungkinan akan diambil oleh media mainstream.
“Twitter itu salah satu tempat untuk mencari perhatian. Untuk mengangkat sebuah isu. Apapun isu itu kalau muncul di sebelah kanan itu biasanya media akan ambil,” kata Fahmi.
Sebagai contoh, dia menyebutkan beberapa waktu silam ada sebuah tagar yang sesungguhnya tidak terlalu menghebohkan jika menghitung jumlah tweetnya. Isu atau tagar itu kemudian menjadi viral karena diambil dan diberitakan oleh media mainstream.
“Ada sebuah tagar itu kalau ditotal hanya 2.000-.3.000 tweet-nya. Tapi karena muncul di atas (trending topic), salah satu media besar, internasional, tapi versi Indonesia, angkat (isu itu),” jelas dia.
Dia mengakui, kadang hal-hal yang viral di Twitter bukan merupakan isu yang penting-penting amat. Bahkan dapat dibilang sebagai isu remeh.
Namun, yang membuat isu itu menjadi ramai justru karena media mengambilnya sebagai bahan pemberitaan. “Tadi dibilang kadang-kadang isunya nggak penting. Tapi media itu jadi sumber berita. Ketika jadi sumber berita, naik lagi,” terang dia.
Patut diakui juga bahwa media menginginkan beritanya ‘dikonsumsi’ masyarakat. Artinya tidak saja dibaca, melainkan dijadikan bahan dalam perbincangan masyarakat.
“Kalau media ambil itu tipping point. Jadi viral itu,” tambahnya.
“Konsumsi muncul adalah untuk topik yang sifatnya kontroversial, mungkin juga ecek-ecek. Ini yang membuat kualitas media sosial lita jadi turun kemudian pemberitaan kita juga turun kualitasnya,” urai dia.
sumber : merdeka.com