Jakarta – Penolakan warga di Tambun Selatan, Bekasi yang menghentikan kegiatan ibadah di Rumah Doa Fajar Pengharapan, bisa menjadi ancaman bagi keberagaman Indonesia.
Apalagi negara kita tengah berupaya menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai keberagaman di masyarakat. Kejadian itu juga berpotensi mengancam gerakan moderasi beragama.
“Literasi masyarakat kita terhadap moderasi beragama masih lemah. Ini menjadi agenda kita semua untuk mengupayakan adanya aware terhadap nilai-nilai pluralistik,” ujar Direktur Eksekif Medialink Ahmad Faisol dalam acara Editor Meeting & Kelas Jurnalisme di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Menurut Faisol, tugas sosialisasi dan menumbuhkan sikap keberagamaan yang moderat bukan hanya tanggung jawab negara, namun jadi menjadi peran yang harus diambil media. Media jangan terjebak pada tugas ‘memberitakan’ saja, tanpa memberi arti betapa pentingnya menumbuhkan sikap keberagamaan yang inklusif di masyarakat.
Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang plural dan heterogen. “Perubahan zaman yang semakin digital, tak mengubah tugas media sebagai pilar keempat dan pengawas demokrasi masih relevan hingga sekarang. Itu prinsip yang harus tetap dijaga,” tegas Faisol.
Dalam penelitian Medialink, pemberitaan terkait isu-isu konflik keagamaan di masyarakat memang massif. Namun isu yang ditampilkannya banyak yang kurang menyampaikan pesan pentingnya hidup yang dilandasi dengan nilai-nilai moderasi dan inklusivitas.
Tidak hanya media, negara juga sangat dibutuhkan perannya. Selama ini negara terkesan abai dan cuek melihat konflik-konflik keagamaan yang terjadi di masyarakat.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut mengatakan, disrupsi mendorong media saat ini lebih condong untuk merespons sebuah peristiwa.
“Dengan model ekosistem, berita praktis respons, bukan menggali. Apa yang terjadi direspons. Apa yang viral di media sosial, direspons. Jadi tidak heran sumbernya sumber klarifikasi” jelasnya.
Respons seringkali hulunya tonenya negatif. Hulunya negatif baru direspons media. Kita bagaimana berupaya agar hulunya positif,” tambah Wens.
Menurut Wens, media juga perlu membuat pemberitaan positif yang mempromosikan toleransi. Menurutnya, sebenarnya banyak peristiwa yang bernilai toleransi di masyarakat, namun media enggan menggalinya.
Media hanya fokus pada berita dengan traffic pembaca yang tinggi misalnya isu yang tengah viral. Karena itu negara juga perlu membantu media melahirkan berita positif.
“Media jarang didorong untuk yang positif. Negara harus masuk kesitu. 1000 berita buruk siram satu berita kebaikan. Yang baik ditoleransi dan keberagaman tapi kurang dipromosikan media,” pungkas Ketua Umum AMSI.