Program Berjalan

Workshop Regional AMSI Bahas Masa Depan Keberlanjutan Media di Asia Tenggara

Tim Sekretariat
Selasa 9 Desember 2025
Workshop on Media Viability

Jakarta, 9 Desember 2025 - Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dengan dukungan BBC Media Action (BBC MA) dan pendanaan dari Uni Eropa melalui program Protecting Independent Media (BRAVE) menyelenggarakan Southeast Asia Online Regional Workshop on Media Viability secara daring. 

Kegiatan ini mempertemukan lebih dari 80 perwakilan media dari Indonesia dan berbagai negara ASEAN untuk membahas tantangan dan peluang keberlanjutan media di tengah perubahan ekosistem digital yang semakin cepat. Di era di mana media, baik konvensional maupun media baru, dihadapkan pada perubahan teknologi, pergeseran perilaku audiens, dan model bisnis yang tidak stabil, forum ini hadir untuk memperkuat kolaborasi regional, serta berbagi strategi inovatif agar media dapat tetap relevan, mandiri, dan berkelanjutan.

Dalam sambutan pembuka, Ketua AMSI, Wahyu Dhyatmika, menekankan bahwa ekosistem media saat ini tengah berada dalam fase transformasi besar. Ia mencatat bahwa banyak media baru lahir tanpa struktur yang kuat, mulai dari tidak memiliki kantor, badan hukum, hingga belum diakui oleh Dewan Pers. Namun, seiring waktu, banyak di antaranya telah berkembang menjadi organisasi profesional dengan tim yang besar dan struktur legal yang lebih mapan, meski tantangan pengakuan dan penguatan ekosistem masih terus berlangsung. "Kita sedang menyaksikan lahirnya generasi baru media. Banyak di antaranya tidak memulai dengan struktur yang kuat. Namun kini banyak media tumbuh dan memiliki tim besar serta struktur legal yang baik. Meski demikian, penguatan ekosistem dan pengakuan resmi tetap menjadi pekerjaan rumah bersama," ujar Wahyu.

Sementara itu, Country Director Indonesia dan Pasifik, BBC Media Action Rachael McGuinn, menegaskan pentingnya keberlanjutan media independen bagi kesehatan demokrasi. "Keberlanjutan media adalah elemen kunci bagi demokrasi yang sehat. Melalui BRAVE, kami ingin memperkuat kapasitas media di Asia Tenggara agar mampu beradaptasi, berinovasi, dan tetap independen di tengah tekanan ekosistem digital,” jelasnya.

Diskusi inti menghadirkan empat pembicara dari Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand. Head of Operations Malaysia Kini, Tham Seen Hau, menjelaskan bahwa untuk tetap relevan di tengah perubahan cepat industri media, organisasi media harus membangun sistem operasional yang fleksibel dan inovatif. 

Menurutnya, struktur yang kuat, transparan, dan akuntabel merupakan fondasi utama ketahanan media jangka panjang. Sementara itu dari Indonesia, CEO Good News From Indonesia (GNFI), Wahyu Aji, menekankan pentingnya membangun kedekatan dengan audiens sebagai kunci keberlanjutan. Ia menyoroti pentingnya media harus terus beradaptasi melalui format seperti newsletter, podcast, dan video. "Kita harus membangun hubungan yang lebih dalam dengan audiens. Model konten harus berubah agar media bisa bertahan dalam situasi yang semakin kompetitif,” ujarnya. 

Dari Filipina, Jaemark Tordecilla, Independent Media Advisor, menegaskan bahwa fokus utama media saat ini tidak hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang di tengah krisis industri. Ia menilai adaptasi model bisnis dan penguatan hubungan dengan audiens merupakan strategi utama untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Nasional Thailand (NPCT), Chavarong Limpattamapanee, menggarisbawahi pentingnya swa-regulasi dalam menjaga kualitas dan kepercayaan publik terhadap media. Ia mengungkapkan bahwa tekanan untuk mengejar klik dan views sering kali mendorong munculnya konten clickbait yang justru merusak kepercayaan masyarakat. Menurutnya, kode etik menjadi elemen fundamental dalam keberlanjutan media, mencakup transparansi, koreksi ketika terjadi kesalahan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. 

Ia juga menjelaskan bahwa diskusi regulasi di Thailand kini banyak berfokus pada pembayaran konten oleh platform digital, transparansi algoritma, perlindungan media kecil, hingga keadilan dalam ekosistem industri. "Swa-regulasi yang kuat akan memperkuat ekosistem media. Kode etik dan mekanisme pengaduan menjadi fondasi penting untuk menjaga kepercayaan publik," tegasnya.

Selain sesi diskusi, terdapat juga sesi berbagi dari perwakilan media dan organisasi masyarakat sipil (CSO) dari berbagai negara di ASEAN, seperti Khin Thandar (WAN-IFRA, Myanmar), Marchel Espina (WAN-IFRA, Filipina), Nop Vy (Cambodian Journalists Association, Kamboja), Khun Rawee (mantan Presiden Online News Publishers Association, Thailand), Shwe Yee Oo (Myanmar Labour News, Myanmar), dan Zevonia Vieira (AJTL, Timor Leste).

Nop Vy dari Cambodian Journalists Association menekankan pentingnya memperkuat jejaring dan kerja sama di tingkat nasional maupun regional. “Kolaborasi adalah kuncinya,” ujarnya, menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor baik media, organisasi masyarakat sipil, maupun pelaku ekosistem digital lainnya menjadi langkah penting untuk memastikan ruang informasi di ASEAN tetap sehat dan inklusif.

Melalui rangkaian diskusi ini, AMSI mengharapkan kolaborasi yang lebih kuat di antara pelaku media di Asia Tenggara, serta strategi bersama untuk memperkuat model bisnis, meningkatkan kepercayaan publik, dan memastikan keberlanjutan media independen. Workshop regional ini menjadi bagian dari upaya berkelanjutan AMSI dalam memperkuat ekosistem media siber nasional dan mendorong kolaborasi lintas negara di kawasan. 

AMSI menegaskan komitmennya untuk terus memfasilitasi ruang dialog, pertukaran pengetahuan, dan pengembangan kapasitas media demi memastikan masa depan industri media yang lebih tangguh. (*)