Report
Larangan Perempuan Pemimpin, “Hantu” Jelang Pilkada Banda Aceh
Tim Sekretariat
Selasa 1 Oktober 2024

Khairani menilai penolakan terhadap Perempuan pemimpin berasal dari penafsiran sempit ajaran Al-Qur’an. Selain itu, hukum nasional Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) melindungi hak-hak perempuan. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak juga menegaskan hak perempuan menduduki posisi eksekutif dan legislatif di Aceh.
Ke belakang, sejarah Islam juga mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dengan menjadi pemimpin.
Sejarah Aceh sendiri juga merekam bagaimana perempuan bisa menjadi seorang pemimpin yang kuat. Ada empat Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yaitu Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin, Sultanah Zakiatuddin, dan Sultanah Kamalat Shah. Balai Syura menulis, kepemimpinan empat ratu ini didukung dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili.
Kala berperang, Aceh juga memiliki Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia yang memimpin pasukan saat melawan penjajah. Sejarah menunjukkan perempuan memiliki tempat penting dalam kepemimpinan di Aceh pada masa lalu.
Merebaknya isu tentang larangan pemimpin perempuan sudah dimulai sejak April 2024, usai pemilihan presiden. Sejumlah akun medsos yang memiliki follower tinggi, seperti @kotabandaaceh, @acehworldtime @tercydukaceh hingga @infobandaaceh mulai memposting orang-orang berpotensi maju sebagai wali kota dalam Pilkada Banda Aceh. Sejumlah akun juga membuat survei dengan memanfaatkan fitur di instagram.
Di Banda Aceh, nama yang kerap muncul di media sosial, adalah Aminullah Usman (wali kota Banda Aceh 2017-2022), Teuku Irwan Johan (anggota DPRA), Farid Nyak Umar (Ketua DPRK Banda Aceh), Sabri Badruddin (Anggota DPRK Banda Aceh/Ketua Golkar Banda Aceh), Afdhal Khalilullah (pengusaha/mantan Ketua KNPI), dan M Haekal (Ketua PMI Banda Aceh). Sedangkan yang perempuan adalah Tati Mutia Asmara (Anggota DPRA dari PKS) dan Darwati A Gani (Anggota DPD RI terpilih), serta Illiza Sa’aduddin Djamal (mantan wali kota Banda Aceh dan Anggota DPR RI).
Namun setiap ada postingan perempuan calon wali kota, selalu diikuti dengan kemunculan akun-akun yang menolaknya. Akun-akun itu meninggalkan komentar negatif yang kemudian jadi bahan perdebatan netizen di kolom komentar.
Misalnya, ada yang menuliskan di komentar instagram @kotabandaaceh: “Bunda dikenal dng penegakan syariat islam. Sprti yang sudah disampaikan Abu Mudi, haram memilih perempuan pemimpin. Jadi sebaiknya bunda jangan maju saja, karena akan menambah dosa anak2 muda b,aceh kalau ikut2an memilih bunda”.
Bunda yang dimaksud adalah Illiza Sa’aduddin Djamal, salah satu calon wali kota. Sedangkan Abu Mudi adalah salah seorang ulama kharismatik di Aceh.
Lalu ada akun lain yang menulis, “beuna wibawa bacut banda aceh, keu pemimpin hana cocok ureng inong”, yang artinya harus ada wibawa kota Banda Aceh, untuk pemimpin tidak cocok perempuan. Postingan ini memicu perdebatan antara yang pro dan kontra dan ada yang membawa hadis.
Sementara, akun @tercydukaceh, sebuah akun informasi yang memposting aktivitas Iliza, juga dikomentari, “Bagaimana pun lebih cocok pemimpin kepala daerah adalah sosok laki-laki. Perempuan tidak bisa memimpin manusia yang di dalamnya ada laki-laki. Walaupun bagaimana pun itu sudah ketentuan Allah dan kodratnya”.
Komentar itu ditimpali netizen lain yang menyatakan, “Hana layak Aceh di pimpin le awak inong (tidak layak Aceh dipimpin oleh perempuan)”.
Akun lain menambahkan, “Dlm Islam tidak dibolehkan wanita jdi pemimpin. jngn mksa buk. hukum Allah itu lebih penting”.
eberapa warga sudah membaca gelagat dari orang-orang yang menolak calon pemimpin perempuan. Karena hal ini sudah terjadi saat Pilkada 2017.
Masih tentang Illiza di akun @tercydukaceh, salah satu akun misalnya mengomentari, “Kita tunggu perempuan tidak boleh jadi pemimpin sebentar lagi akan ramai”.
Ada pula yang merespons dengan mengatakan isu seperti itu sudah tidak “laku” lagi di Pilkada 2024. “Udh gak laku lg kayaknya model 2017. Skrg masyarakat bisa mlhat siapa yg pantas dan gk. Siapa yg berhasil siapa yg gk. Bktinya anak aja klo gda ayah bsa berhasil dngan perjuangan.”
Sebagian netizen mendukung larangan perempuan menjadi pemimpin di Banda Aceh karena dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam.
Penguat argumentasi dari para netizen adalah pernyataan ulama kharismatik Aceh, Abu Mudi pada Pilkada 2017 yang lalu. Pemimpin Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga sejak 1989 ini mengatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Sejumlah tokoh dan lembaga mengikutinya dengan menolak hadirnya perempuan pemimpin.
Memasuki Juli 2024, para tokoh-tokoh politik mulai melobi partai politik dan membangun koalisi agar bisa berlaga dalam Pilkada 2024 di Banda Aceh. Calon perempuan yang serius mencalonkan diri, hanya Illiza Sa'aduddin Djamal. Ia sudah berpengalaman dan pernah menjadi Wakil Wali Kota Banda Aceh 2012-2014 dan Wali Kota Banda Aceh 2014-2017.
Sedangkan nama-nama perempuan lain kian jarang disebut. Tati Asmara tidak didukung partainya, yaitu PKS karena partai ini memilih mengusung petinggi partainya, Khairul Akmal. Kemudian Tati fokus mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Sedangkan Darwati A. Gani terpilih menjadi DPD RI dan partainya, Partai Nanggroe Aceh (PNA) tidak memiliki kursi dan tak kebagian koalisi.
Di tengah upaya membangun koalisi, Illiza kerap melakukan lobi-lobi politik dan pertemuan dengan masyarakat. Lantaran hanya menyisakan satu nama perempuan di pilkada Banda Aceh, larangan soal perempuan pemimpin langsung menyasar sosok Illiza.
Balai Syura merespon fenomena ini, dengan meminta pemerintah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan. Calon Kepala Daerah dan tim suksesnya juga diminta agar berkompetisi secara fair dalam seluruh proses pemilihan kepala daerah, tanpa harus melakukan politisasi agama/politisasi Syariat Islam untuk menjegal calon pemimpin perempuan.
Illiza Sa’aduddin Djamal sudah tak terkejut lagi dengan isu ini. Ia sudah merasakannya saat Pilkada 2017. Akibatnya, ia kalah telak.
Sejak awal, ia sudah menduga isu ini bakal muncul lagi. Di media sosial, Illiza yang juga anggota DPR RI ini mengaku tak memberikan perlawanan atau merespon komentar para netizen. Ia memilih fokus untuk terus maju dan melakukan berbagai upaya agar bisa memimpin Banda Aceh.
“Biar orang-orang itu melakukan hal buruk, tentu itu akan kembali pada dirinya sendiri, saya mau fokus saja pada kerja saja,” ujarnya.
Berbagai serangan dan komentar negatif tak mengendorkan semangatnya. Pada Agustus 2014, Illiza bersama wakilnya, Afdhal Khalilullah tetap mendaftar sebagai Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke KIP Banda Aceh.
Illiza mengaku berani mencalonkan diri sebagai Wali Kota Banda Aceh karena ia tahu apa kebutuhan masyarakat saat ini. Misalnya seperti air bersih, fasilitas umum, dan peningkatan ekonomi.
Ia juga menyemangati para perempuan Aceh untuk terjun ke dunia politik. Jika dijalankan dengan benar, politik akan memberikan manfaat yang besar. Politik itu bukan sesuatu yang kotor karena tergantung dari niat dan cara menjalankannya.
“Hidup itu itu adalah pilihan, dan pilihan terbaik adalah menjadi istri dan ibu yang baik di rumah, bahkan hal itu sudah ditegaskan dalam hadis,” ujarnya.
Tapi, pilihan Illiza bukan hanya menjadi seorang ibu bagi keluarganya. Ia memilih terjun ke politik karena ingin memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
“Makanya saya butuh ridha suami, orang tua, dan anak-anak. Nah itu saya mendapatkan tiket itu, saya dapat restu,” tutup Illiza.
Manfaatkan Suara Perempuan
Jika isu larangan perempuan dimainkan jelang Pilkada, apakah semua pemilih ikut terpengaruh?
Data KIP Banda Aceh menyatakan jumlah daftar pemilih sementara (DPS) di Banda Aceh, sebanyak 172.880 orang. Perempuan mendominasi dengan jumlah 90.156 orang. Sedangkan laki-laki, 82.724 orang pemilih. Hal menarik lainnya, Banda Aceh memiliki sekitar 30 ribu pemilih pemula yang dinilai sulit dipengaruhi oleh isu-isu rasial dan konservatif.
Para kandidat tentu akan menyasar suara perempuan dan Gen Z yang jadi mayoritas pemilih di Banda Aceh. Dalam pantauan Serambi, Illiza Sa’aduddin Djamal juga mulai menggaet mereka. Setiap turun ke lapangan, ia kerap melakukan pertemuan dengan ibu-ibu.
Di media sosial, Illiza tampil di berbagai platform, mulai instagram, tiktok, hingga facebook dengan konten yang akrab dengan Gen Z. Ia membuat konten yang memperlihatkan kedekatan dirinya dengan anak muda. Misalnya, ia berbaur dengan masyarakat nonton pertandingan sepak bola dan voli.
Dalam setiap kontennya, ia kerap ditemani beberapa influencer. Ia juga hadir dalam setiap event di Banda Aceh, seperti bazar UMKM. di situ, ia ikut nongkrong minum kopi di etalase mobil-mobil kopi, seperti para Gen Z. Illiza juga terlihat sering mencicipi kuliner-kuliner enak dan hits di Banda Aceh.
Saat ini, pengaruh media sosial tak boleh disepelekan karena pemilih pemula “bersarang” di sana. Prabowo dan Gibran sudah membuktikan saat Pilpres lalu. Mereka mampu menguasai media sosial, terutama tiktok dengan branding gemoy yang mampu menarik para pemilih pemula.
Lantas apabila Illiza menguasai Gen Z dan kaum perempuan, apakah ini bisa melawan propaganda anti perempuan pemimpin ?
Pada Pilkada 2017, dari 150-an ribu orang DPT, jumlah pemilih yang datang ke TPS hanya 90.989 orang. Kala itu, pasangan Aminullah – Zainal Arifin menang dengan suara 60.689. Sedangkan Illiza – Farid Nyak Umar hanya mampu meraih 30.207 suara.
Dalam Pilpres dan Pileg 2024, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Tahun 2024 berjumlah 169.146 orang. Tetapi yang menggunakan hak pilihnya hanya 137.825 orang atau 82 persen.
KIP Banda Aceh memperkirakan jumlah pemilih pada Pilkada November mendatang tak akan jauh berbeda.Pada Pilkada mendatang, ada empat pasangan yang mendaftar. Mereka adalah Illiza Sa’aduddin Djamal – Afdhal Khalilullah (PPP, Gerindra), Aminullah Usman – Isnaini Husda (PAN, Demokrat), T Irwan Djohan – Khairul Amal (Nasdem – PKS), dan Zainal Arifin – Mulia Rahman (Independen).
Regulasi Tak Melarang
Ketua Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwaslih) Banda Aceh, Indra Milwady mengatakan baik undang-undang dan qanun Aceh tidak melarang perempuan maju Pilkada. “Kita pada dasarnya berpegang pada regulasi, sepanjang dibolehkan regulasi, seharusnya tidak jadi hambatan,” ujarnya.
Panwaslih memantau potensi memainkan isu larangan perempuan sangat terbuka. Apalagi isu tersebut sudah pernah dimainkan pada Pilkada 2017.
Indra mengatakan Panwaslih Banda Aceh akan memiliki Pokja isu SARA yang mengawasi isu tersebut, baik di dunia maya dan nyata. Selain itu, ada Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari banyak unsur penegak hukum.
“Nanti ini akan kita bahas, apa ini masuk isu negatif yang harus ditindak atau masuk dalam pidana, dengan melanggar UU ITE. Kalau ada laporan dan temuan dari kami, pasti akan kami proses,” ujar Indra.
Ia mengatakan Panwaslih akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat maupun pasangan calon tidak membawa isu-isu negatif agar Pilkada Banda Aceh bisa berlangsung damai.
Indra berpendapat meskipun isu larangan perempuan pemimpin akan dimainkan lagi namun dampaknya tidak akan separah Pilkada 2017. Pasalnya, sebagian warga Banda Aceh sudah paham arah isu ini sehingga tidak akan membawa pengaruh besar.
“Karena sudah pernah terjadi pada Pilkada 2017, mungkin isu ini tidak membuat warga terpengaruh,” ujarnya.
Sejuta Masalah di Kutaraja
Sudah berbilang pilkada, pemegang kuasa berganti berkali-kali, tetapi permasalahan utama di Banda Aceh belum tuntas juga. Dari pada melarang perempuan pemimpin, lebih baik warga Banda Aceh mencari sosok pemimpin yang dinilai bisa menyelesaikan persoalan utama yang dihadapi warga.
Persoalan utama di Banda Aceh adalah ketersediaan air bersih, fasilitas umum, ruang terbuka hijau, stunting, dan pengangguran. Hampir 20 tahun setelah tsunami 2004, suplai air bersih masih menjadi masalah utama yang belum tuntas. Sudah tiga kali Pilkada belum ada sosok yang mampu mengentaskan masalah itu.
Di sebagian besar wilayah Banda Aceh, air hanya mengalir saat tengah malam saja. Bahkan ada waktu-waktu tertentu air tak mengalir karena suplai air tidak mencukupi. selain itu, hampir semua pemukiman warga butuh mesin pompa untuk menyedot air.
“Banda Aceh mendengungkan syariat Islam, lalu bagaimana kita bersyariat jika untuk air wudhu saja kita susah,” keluh Fajri Rizki, seorang warga Banda Aceh.
Pengangguran juga jadi masalah utama di Banda Aceh. Minimnya investor yang masuk membuat lapangan kerja menjadi sempit. Data BPS Aceh tahun 2023, angka pengangguran di Banda Aceh mencapai 8 persen sehingga menduduki peringkat 4 pengangguran terbesar dari 23 kabupaten/kota. Banda Aceh hanya di bawah Lhokseumawe, Aceh Besar, dan Aceh Timur.
Luasan ruang terbuka hijau juga masih jadi persoalan. Pemerintah Banda Aceh harus peduli dengan persoalan ini karena wilayahnya menyimpan potensi bencana gempa bumi dan berada di bibir pantai. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengamanahkan ada 20 persen ruang terbuka hijau, namun saat ini baru tercapai 14 persen.
Dalam Perbedaan Pendapat
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H. Faisal Ali menyampaikan, selama ini para ulama melihat isu perempuan pemimpin dengan melihat struktur pemerintahan yang memiliki tiga unsur yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ini menjadi pangkal perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Tgk Faisal Ali mengatakan ada ulama yang menyatakan perempuan pemimpin diperbolehkan. Alasannya, kekuasaan tidak lagi mutlak pada satu orang karena ada legislatif dan yudikatif.
Tetapi ada juga pandangan yang melarang karena perempuan pemimpin memiliki “hambatan” dalam menjalankan pekerjaannya. Misalnya, ia harus pergi jauh dari rumahnya dan tidak didampingi suaminya.
“Tapi untuk model kekuasaan absolut, tidak ada perbedaan di antara ulama, semua sepakat tidak boleh perempuan pemimpin. Tapi karena kita di sini kekuasaan sudah terbagi, ada yang pendapat yang membolehkan (perempuan pemimpin), ada yang tidak boleh,” ujar Tgk Faisal Ali.
Meskipun ada perbedaan pendapat, MPU Aceh tidak menetapkan satu pilihan. MPU belum membawa soal ini ke sidang fatwa atau muzakarah.
“Silahkan memilih seperti apa yang diyakini. Tapi jangan memprovokasi dan jangan menjelek-jelekkan satu sama lain,” tegasnya.
Berdampak Jika Tak Diantisipasi
Direktur Parameter Institute Iqbal Ahmady menyampaikan, mereka sudah memperkirakan isu perempuan dilarang memimpin akan kembali dimainkan dalam Pilkada 2024.
Berdasarkan survei yang dilakukan Parameter Institute pada Maret-April 2024, Illiza Sa’aduddin Djamal masih menduduki peringkat pertama top of mind responden dalam Pilkada Banda Aceh. Namun, elektabilitas tertinggi masih dipegang oleh calon lainnya, T Irwan Djohan dengan catatan, saat survei digelar, Illiza belum mendeklarasikan diri maju ke Pilkada Banda Aceh.
“Berdasarkan laporan riset kami, salah satu kendala calon perempuan adalah isu anti perempuan pemimpin. Tapi hasil temuan lapangan, porsi isu itu (dalam Pilkada 2017) tidak akan sama (lebih kecil) dalam Pilkada 2024,” ujar Iqbal Ahmady.
Menurutnya, daya rusak isu larangan perempuan pemimpin tidak sekuat Pilkada sebelumnya. “Kalau kita katakan isu itu sudah kurang laku. Tapi kalau dikatakan isu ini tidak ada dampak buruknya, tidak benar juga, bahaya juga tidak diantisipasi, bisa-bisa seperti 2017 lagi,” ujarnya
Ia mengatakan kebiasaan di Banda Aceh, satu isu hanya efektif dimainkan dalam satu kontestasi saja. Tapi jika tidak diantisipasi dengan baik, bisa menggerus basis dukungan calon perempuan di Pilkada Banda Aceh.
Pemimpin lembaga riset seputar ekonomi, sosial, strategi politik, dan kebijakan pemerintah ini, menyarankan agar masyarakat tak perlu menghiraukan isu larangan perempuan pemimpin. “Malah nanti akan blunder, orang yang sebelumnya tidak tahu jadi tahu, jadi memang untuk isu seperti ini tak perlu reaktif,” ujar Dosen Politik Universitas Syiah Kuala ini.
Apalagi, isu larangan perempuan pemimpin dikaitkan dengan syariah atau agama yang jadi isu sangat sensitif di Aceh dan bisa berdampak besar. Buktinya, isu yang sukses dihembuskan pada Pilkada 2017 itu masih berdampak hingga saat ini, yaitu minimnya perempuan ikut berkontestasi pada Pilkada 2024.
“Padahal, Aceh tidak pernah kekurangan tokoh perempuan,” tegasnya. (*)
"Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa."
Muhammad Nasir - Serambinews.com
Untuk membaca artikel lengkap dari penulis, silakan klik link berikut