Report

Bayang-bayang Dinasti Politik di Balik Bencana Rob Pekalongan

Tim Sekretariat
Selasa 24 September 2024

Berdinding papan kayu, rumah pasangan Rohani (74) dan Nurjanah terletak di luar tanggul dengan pekarangan laut di Kelurahan Kandang Panjang, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan.

Rumah seluas 5x15 meter persegi itu langganan terendam banjir rob selama tiga bulan saat musim penghujan.

Tak hanya kediaman Rohani dan Nurjanah, tetangga mereka di RT 4 RW 7 mengalami hal serupa. Perbedaanya, tetangga dekat rumah mereka sudah pindah.

Rohani beserta istri sesungguhnya ingin pindah dari wilayah itu. Sebab, di kawasan tersebut terdampak pembangunan tanggul program pemerintah daerah pada 2018 dan 2022 lalu.

Namun, harapan mereka tak kunjung direalisasikan oleh Pemerintah Kota Pekalongan.  

 “Kami sebagai masyarakat kecil hanya bisa berharap kepada pemerintah,” kata Rohani pada Senin, (19/8/2024).

Air laut masuk ke pemukiman warga, lahan pertanian, tempat usaha, hingga fasilitas umum di Pekalongan sepanjang tahun.

Banjir air laut yang melanda pesisir Pekalongan  ini berdampak terhadap sekitar 2.000 lebih keluarga dengan luas sekitar 1.400 hektare di Kota maupun Kabupaten Pekalongan.

Warga Pekalongan lainnya, M. Riyanto, juga mengalami nasib yang sama dengan Rohani.

Dia harus mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk meninggikan rumah supaya tak terendam rob. 

Untuk pindah rumah, pekerja bengkel ini mengaku tak memiliki uang sebanyak itu. 

“Akhirnya hanya bisa bertahan,” tuturnya.

Ia pun menagih Wali Kota Pekalongan 2021-2024 Afzan Arslan Djunaid atau biasa Aaf yang hingga periode kepemimpinannya berakhir, janji semasa kampanye mengatasi banjir rob di Kota Batik itu tak kunjung terlaksana.

“Hanya janji-janji saja, pembuktian tidak ada,” kata Riyanto (46), Rabu, 7 Agustus 2024.

Riyanto tak hanya menagih janji Aaf, namun wali kota Pekalongan sebelumnya, Achmad Alf Arslan Djunaid alias Alex (almarhum) yang merupakan kakak Aaf dalam kampanyenya dulu selalu menggaungkan untuk bisa mengatasi banjir rob di Kota Pekalongan.

Riyanto menganggap janji-janji pemimpin daerahnya itu hanya pepesan kosong belaka.

Menurut dia, selama dua dekade terakhir, Kota Pekalongan dipimpin oleh dinasti politik. Selama itu pula, Riyanto, warga Kelurahan Kandang Panjang, Pekalongan Utara, Kota Pekalongan ini mengungkapkan menjalani kehidupan susah direndam air rob.

Ia mengaku putus asa dengan pemerintah yang lamban menangani rob. 

“Yang menjadi Wali Kota Pekalongan kan dari klan keluarga itu-itu saja. Kalau masih satu keluarga seharusnya lebih cepat tangani rob. Bukan seperti ini malah lamban sehingga banyak memakan korban mulai dari kehilangan rumah, pekerjaan dan akses hidup sehat,” ujarnya.

Trah dinasti politik di Pekalongan setidaknya telah dibangun hampir dua dekade ini. Bermula dari kepimpinan  pasangan Wali Kota dan wakil Wali Kota Basyir Ahmad Syawie dan Abu Almafachir (2005-2010), Basyir Ahmad Syawie dan Achmad Alf Arslan Djunaid (Alex) (2010-2015).

Achmad Alf Arslan Djunaid (Alex) dan Saelany Machfudz (2016-2017), Saelany Machfudz dan Achmad Afzan Arslan Djunaid (Aaf) (2019-2021), Achmad Afzan Arslan Djunaid (Aaf) (2021-2024).

Wali Kota Pekalongan saat ini, Achmad Afzan Arslan Djunaid (Aaf) merupakan adik mantan wali Kota Pekalongan periode 2016-2021, alm Achmad Alf Arslan Djunaid (Alex).

Alex pernah menjadi wakil Wali Kota Pekalongan bersama Wali Kota Pekalongan dua periode (2005-2010) Basyir Ahmad Syawie.

Basyir sendiri adalah suami dari Balgis Diab.

Kini, Aaf dan Balqis menjadi pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Pekalongan pada Pilkada 2024. 

Mereka meneruskan duet antar-dua keluarga tersebut untuk melanjutkan trahnya. 
 
Dengan masih hadirnya calon kepala daerah dari keluarga wali kota sebelumnya yang tak kunjung memberikan solusi bagi persoalan warga khususnya mengatasi rob, Riyanto tidak setuju dengan adanya dinasti politik.

Dia berharap ada sosok baru pemimpin Kota Pekalongan. 

“Inginnya sih digantikan pemimpin yang baru tidak orang dari keluarga itu-itu saja. Yang bisa pro-rakyat, yang muncul ketika bencana datang, bukan hanya saat peresmian jalan saja,” ujarnya.

Korban rob Pekaloangan, Casmari (63), mengungkapkan hal yang sama. Dia juga tidak sepakat terhadap dinasti politik.

Sebab, menurut dia, dinasti politik malah memperburuk bencana rob di Pekalongan. 

“Dinasti politik sepertinya tidak baik. Dipimpin oleh kalangan tertentu saja, dan mereka biasanya sama. Berjalannya aturan tidak jauh beda. Imbasnya, persoalan rob sama sekali tak selesai. Mungkin kalau pemimpin punya visi berbeda akan lebih menyelesaikan,” ungkapnya.

Casmari adalah korban rob yang tinggal di Kawasan perumahan Pesona Griya Panjang 1 RT 2 RW 11, Kelurahan Kandang Panjang, Pekalongan Utara sejak tahun 2012.

Kawasan rumah yang dihuninya kini bak kampung mati. 

Sebab, dulunya perumahan ini dihuni 71 Kepala Keluarga (KK) dalam satu rukun tetangga.

Kondisi saat ini hanya ditinggali 13 KK. Warga lainnya sudah pergi.

Tampak di lokasi, rumah-rumah itu dibiarkan direndam air, ambles ditelan tanah dan bangunan terus rapuh dilahap waktu. 

Lokasi perumahan ini berjarak sekitar satu kilometer dari pesisir pantai di Pekalongan. 

“Sebelum dihantam rob, kawasan perumahan ini dikenal rumah elite sekarang hancur ditinggal pergi pemiliknya,” katanya.

Pemerintah Kota Pekalongan dalam menanggulangi bencana rob telah membangun tanggul bersumber dana baik dari APBD, bantuan Provinsi maupun pemerintah pusat.

Di antaranya kucuran bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp 1,2 triliun untuk pembangunan tanggul yang membentengi pesisir di dua kecamatan di kota batik. Namun, banjir rob masih terjadi.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Pekalongan mencatat, pada 2023 ada dua kejadian bencana rob meliputi periode 12-16 Mei 2023 dan 12-26 Juni 2023.

Banjir rob menimpa 7 kelurahan di Kecamatan pekalongan utara dan 1 kelurahan di Pekalongan Barat. 

Pada 2024, banjir rob terjadi pada Januari 17-31 Januari 2024 yang terjadi di 7 kelurahan yang masuk 2 kecamatan yang berdampak terhadap 6.374 kepala keluarga.

Pada Maret 2024, terjadi banjir di 12 kelurahan di 3 kecamatan yang menimpa 19.789 kepala keluarga.

Manfaat tanggul laut juga tak dirasakan oleh pasangan suami-istri Rohani (74) dan Nurjanah (54). Mereka adalah kelompok rentan yang hidup di luar tanggul rob Pekalongan.

Sebab rumah mereka di RT4 RW7 Kelurahan Kandang Panjang, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan ini berada di luar tanggul sehingga langsung berhadapan dengan laut.

“Kami satu-satunya warga sini yang bertahan di balik tanggul. Rumah kami tertutup tembok tebal tanggul setinggi dua meter. Akhirnya rumah langsung berhadapan dengan laut jadi seperti tinggal di dalam waduk,” keluh Nurjanah saat ditemui di rumahnya, Senin (19/8/2024). 

Kendati hidup terpisah dari dunia luar, Nurjanah masih didatangi petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat untuk melakukan pencocokan pendataan pemilih.

Artinya, Nurjanah punya hak suara dalam Pilkada 2024. 

“Setiap pemilu disuruh mencoblos, peringatan hari kemerdekaan negara ini harus ikut iuran agustusan, tetapi negara sudah tiga tahun ini tidak memberikan solusi dari permasalahan kami berupa relokasi dari rumah ini,” keluhnya.

Suami Nurjanah, Rohani (74) mengatakan rumah mereka berada di luar tanggul karena pemerintah tidak mau melakukan relokasi. Mereka ketika hendak relokasi mandiri tidak memiliki biaya.

Rohani merupakan bekas petambak yang sekarang tambaknya sudah lenyap dilahap rob. 

Sedangkan Nurjanah adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja. 

Rohani setelah tambaknya hilang sempat menjadi pencari udang, ikan, kepiting di sekitar tempat tinggalnya. 

Namun setelah abrasi air laut semakin mendesak ke darat ditambah adanya pembangunan tanggul sehingga dia telah kehilangan sumber penghidupannya secara penuh.

Dia dan istrinya kini hanya mengandalkan bantuan dari 7 anaknya yang semuanya sudah memiliki keluarganya masing-masing.

“Mau pindah ke mana kami tidak tahu, yang jelas tidak ada biayanya,” terangnya.

Mereka sekarang tinggal di rumah dengan luasan 5x15 meter.

Rumah berdinding kayu itu menempati tanah musnah milik teman Rohani.

Pemilik tanah musnah telah mengizinkan mereka menempati lahan tersebut.  

Toh, tanah itu sudah berubah bentuk menjadi laut sehingga harus diuruk. Rohani mengatakan dahulu rumahnya berada di sebelah barat berjarak 40 meter dari tempat tinggalnya yang sekarang.

Rob mulai ganas menerjang kawasan perkampungannya pada tahun 2015.

Puncak rob terjadi di tahun 2019. Beriringan dengan kondisi tersebut, pemerintah membangun tanggul di depan rumahnya. 

Proses pembangunan tanggul sebanyak dua kali, Pembangunan pertama dilakukan pada 2018 dengan tinggi sekitar 80 sentimeter.

Kemudian pada 2022 setinggi 2 meter. “Tanggul laut bagi orang di dalam tanggul mungkin bermanfaat tapi bagi kami tidak. Kami sampai sekarang masih direndam rob, seperti pada April hingga Juni 2024 kemarin, kami selama 3 bulan setiap hari direndam rob,” katanya.

Dia mengaku sudah bosan mengusulkan relokasi rumahnya karena sudah meminta bantuan hingga ke pemerintah Provinsi tetapi tidak ditanggapi.

Dia mengaku keluhannya telah dijembatani oleh sebuah LSM. Namun setelah lebih dari dua tahun berjalan tidak ada kabarnya. 

“Yang mengajukan surat LSM tersebut, saya hanya tanda tangan,” ujarnya.

Dari kondisi yang dialaminya, Rohani menyebut tidak bisa berbuat banyak. Dia mengaku tak punya tenaga untuk marah kepada pemerintah karena bakal berakhir percuma. 

“Sekejam-kejamnya pemerintah, saya hanya bisa pasrah.”

Di sisi lain, Rohani menyadari Wali Kota Pekalongan dalam beberapa periode dipimpin oleh dinasti politik.

Dia paham soal silsilah para calon Wali Kota Pekalongan, di antaranya Bilqis dan Aaf. 

Namun, dia menyayangkan mereka tidak bisa mengatasi permasalahannya dan banjir rob Pekalongan secara umum.

“Coblosan nanti ya coblos semua calonnya, tidak akan memilih salah satu biar saja suara dianggap tidak sah karena misal tidak coblos takutnya kertas disalahgunakan,” katanya.

Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma mengatakan, tanggul laut di pesisir Kota Pekalongan bukan menjadi solusi utama mengatasi rob tetapi hanya akan memindahkan masalah rob.  

Hal itu terjadi karena ketika laut ditanggul berimbas terjadinya perubahan arus laut yang akan menjorok ke kanan dan kiri wilayah tersebut.

Artinya, pesisir di sekitar Kota Pekalongan yakni Kabupaten Pekalongan dan Batang akan ikut habis tergerus perubahan arus laut.

Tanggul laut juga berpotensi alami jebol, hal ini sudah berulang kali terjadi di Kota Semarang persisnya di tanggul Marina (Semarang Barat) dan Kawasan Industri Lamicitra (Pelabuhan Tanjung Emas).

“Tanggul laut bukan menjadi solusi paling mutakhir atau bisa jadi hanya menunda bencana karena ketika jebol maka habislah wilayah di balik tanggul.  Seharusnya pemerintah mencari akar permasalahan dari kejadian rob,” bebernya.

WALHI: Dinasti Politik Langgengkan Masalah Lingkungan

Menurut Iqbal, bencana rob yang terjadi di Pekalongan muara persoalannya karena terjadi penurunan muka tanah imbas proyek Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

Hal ini sesuai  riset Heri Andreas, ahli Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengemukakan hal serupa.

Tercatat, ada sekitar 400an titik bor air tanah Pamsimas di Pekalongan untuk kebutuhan industri, batik, dan sektor lainnya.

Sementara, Data dari BPBD Kota Pekalongan yang menukil hasil penelitian Badan Geologi Pusat di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pernah memasang enam patok pantau untuk membuktikan penurunan tanah di Pekalongan pada 2020.

Hasilnya, penurunan tanah terjadi paling parah mencapai 11,9 sentimeter.

Temuan ini tak jauh berbeda dengan hasil penelitian Heri Andreas yang menyebut rata-rata penurunan tanah di Kota Batik ini sebesar 10 cm per tahun dan beberapa wilayah ada mencapai 15 cm-20 cm per tahun.

“Pemerintah sudah salah kaprah dari awal mencari solusi sehingga menyebabkan masalah baru,” imbuh Iqbal.

Oleh karena itu, Iqbal tak sepakat ketika  ada praktik dinasti dalam pemerintahan. Kendati lembaganya hanya fokus soal isu lingkungan, tetapi dampak dari sistem politik sangat berpengaruh ke lingkungan termasuk system dinasti politik. 

Merujuk pada konteks pesisir dan pencemaran ketika kepala daerah sudah gagal menanganinya maka sebaiknya diberikan ruang ke orang lain yang lebih progresif bukan malah memasang orang terdekatnya untuk maju pemilihan kepala daerah. 

“Dinasti politik tidak bisa menjadi solusi persoalan lingkungan. Sebaliknya, dinasti politik malah melanggengkan persoalan,” ungkapnya.

Wali Kota Pekalongan Achmad Afzan Arslan Djunaid membantah penanganan banjir rob di kota Pekalongan berjalan lambat. 

Dia mengklaim, selama 12 tahun Pemkot Pekalongan berjibaku atasi rob, pada saat pemerintahannya akselerasi penanganan rob berjalan cepat dengan hasil seluas 70 persen wilayah terdampak rob berhasil dikurangi. 

“Jadi lambatnya itu  di era siapa? Di periode saya,3,5 tahun karena ada pilkada serentak ditambah ada refocusing anggaran Covid-19 tetap bisa mengurangi 70 persen wilayah terdampak rob,” klaim pria yang akrab disapa Aaf ini saat ditemui sebelum melakukan tes kesehatan untuk pencalonan kepala daerah di Kota Semarang, Sabtu (31/82024).

Dia mengakui masih ada wilayah yang belum tersentuh penanganan rob meliputi 3 Kelurahan di Kecamatan Pekalongan Barat yakni Kelurahan Tirto, Pasir Kraton Kramat, dan Bendan Kregon.

Namun, kata Aaf, pihaknya dibantu Pemerintah pusat telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp1,2 triliun untuk mengatasi rob. 

Dana sebesar itu diproyeksikan untuk pembangunan infrastruktur di antaranya tanggul laut dan rumah pompa di Kecamatan Pekalongan Utara dan Kecamatan Pekalongan Timur.

“Untuk penanganan rob, kami mengandalkan sepenuhnya bantuan pusat,” terangnya.

Dia mengaku anggaran penanganan rob yang berasal dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) hanya di angka sekitar Rp 20 miliar per tahun.

Selama menjabat sebagai Wali Kota Pekalongan, Aaf stagnan mematok anggaran di angka tersebut. 

“Dana anggaran kami terbatas. Jadi selama tiga tahun ya di angka tersebut yang digunakan untuk membuat tanggul darurat, membeli mesin penyedot air dan kebutuhan lainnya,” paparnya.

Sementara merujuk laporan Think Climate Indonesia (2023) dari Kemitraan Partnership, sebuah lembaga yang berfokus pada perubahan tata kelola pemerintahan, menyebut anggaran ketahanan Iklim di Kota Pekalongan sebesar 18,37 persen dari total anggaran Rp1,09 triliun pada APBD Perubahan 2022.

Artinya, Pemkot Pekalongan menganggarkan sekitar Rp180 miliar. 

Dalam laporan ini, dana ratusan miliar tersebut dikucurkan untuk pelayanan dasar di antaranya kesehatan, pekerjaan umum, sosial, hingga perumahan rakyat dan permukiman.

Selama pemerintahannya, Aaf mengklaim telah membatasi pengambilan air tanah untuk mencegah rob yang dimulai sejak 2021.

Aaf menyatakan di era kepemimpinannya sudah tidak mengeluarkan izin pengambilan air tanah bagi perusahaan, industri, dan instansi atau lembaga pemerintahan.

“Semua dialihkan ke PDAM, tapi bertahap,” terangnya.

Berkaitan adanya dinasti politik di pemerintahannya, Aaf menyerahkan penilaian tersebut ke masyarakat. 

Namun, Aaf mengatakan dinasti poltik bisa menjadi salah ketika tokoh yang dilahirkan itu instan, dipaksakan, tidak layak, tidak berpengalaman dan menyalahi undang-undang.

"Saya berjalan alamiah, sudah menjadi Wali Kota Pekalongan satu periode. Tinggal silahkan cek kinerja saya di lapangan," dalihnya.

Trah dinasti politik pada pemerintahan Aaf semakin kental ketika dia maju perhelatan Pilkada 2024 dengan menggandeng Balgis Diab istri mantan Wali Kota Pekalongan dua periode Basyir Achmad Syawie (2005-2010).

Balgis juga dua kali menjabat ketua DPRD Kota Pekalongan. 

“Saya maju bersama dengan Bu Balgis atas campur tangan partai. Parpol pusat yang menentukan,” ungkap kader partai PDIP ini.  

Aaf juga membantah bakal ada penyalahgunaan wewenangnya karena majunya dia sebagai petahana maupun trah dinasti politik yang berkompetisi pada Pilkada 2024.

Potensi Dinasti Politik Pilkada Jateng 2024

Hasil kajian riset yang dikeluarkan Agus Riyanto dkk dari Universitas Wahid Hasyim Semarang tentang “Praktik Dinasti Politik Pada Pilkada Serentak Jawa Tengah (2020)” menyebutkan, Pilkada Serentak Jawa Tengah (2020) terdapat 15 calon yang memiliki keterkaitan dengan dinasti politik.: Umi Kulsum (Blora), Ristawati Purwaningsih (Wakil Bupati Kebumen), Sri Mulyani (Klaten), Zaini Makarim Supriyatno (Purbalingga), Dyah Hayuning Pratiwi (Purbalingga), Mochamad Hanies (Rembang), Bintang Narsasi (Kabupaten Semarang), Etik Suryani (Sukoharjo), Hevearita Gunaryati Rahayu (Kota Semarang), dan Gibran Rakabuming Raka (Solo), Kusdinar Untung Yuni Sukowati (Sragen) Agung Mukti Wibowo (Pemalang), Achmad Afzan Arslan Djunaid (Kota Pekalongan), Balqis Diab (Kota Pekalongan), Aji Setiawan (Kota Magelang). 

Bersumber data dari KPU Jawa Tengah, ada 77 pasang calon kepala daerah yang mendaftar untuk kompetisi Pilkada 2024.

Hasil penelusuran penulis, 77 pasang kepala daerah tersebut, 28 di antaranya merupakan produk dinasti politik.  28 calon kepala daerah tersebut yakni Lilis Nuryani (Kebumen), Yuli Hastuti (Purworejo), Dyah Hayuning Pratiwi (Purbalingga) Muhammad Bobby Dewantara (Pemalang), Amalia Desiana (Banjarnegara),  Untung Wibowo Sukawati (Sragen) , Setyo Hadi (Grobogan), Etik Suryani (Sukoharjo), Muhammad Ibnu Hajar (Jepara), A.S Sukawijaya alias Yoyok Sukawi (Kota Semarang), Juan Rama (Salatiga), Sri Wahyuni (Salatiga), Paramitha Widya Kusuma (Brebes), Ristawati Purwaningsih (Kebumen), Dion Agasi Setiabudi  (Purworejo) Bugar Wijiseno (Banjarnegara) Mawahib (Kudus), Imron Rizkyarno (Wonogiri), Benny Indra Ardhianto (Klaten), Mochamad Hanies Cholil Barro (Rembang), Vivit Dinarini Atnasari (Rembang), Muhammad Ashim Adz Dzorif Fikri (Kota Tegal) ,  R Heri Ibnu Wibowo (Temanggung), Mirna Annisa (Kendal), Duah Kartika Permanasari (Kendal), fahmi Muhammad Hanif (Purbalingga), ,Achmad Afzan Arslan Djunaid (Kota Pekalongan), Balgis Diab (Kota Pekalongan).

Masih merujuk pada riset Agus Riyanto dkk menerangkan, belasan calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan dinasti politik secara umum bisa dikategorikan ke dalam dua jenis praktik dinasti polistik.

Pertama, populism dynasties, yaitu upaya melanggengkan ”stBatus quo” kekuasaan dengan cara mereproduksi wacana heroisme maupun populisme pemerintahan sebelumnya, yang memiliki hubungan kerabat baik, dan merupakan suami atau ayah kandidat.

Kedua, octopussy dynasties yaitu upaya membangun dinasti politik berbasiskan jaringan kuasa keluarga yang telah menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif maupun legislatif.

“Maraknya praktik dinasti politik pada Pilkada Jateng 2020 tidak lepas dari tiga faktor. 

Pertama, faktor kelembagaan terkait putusan MK No.33/PUU/XIII/2015 yang kemudian seakan-akan melegitimasi dinasti politik dalam pilkada di Indonesia. 

Kedua, faktor kaderisasi partai politik yang cenderung gagal dan sikap partai yang pragmatis, serta, ketiga, sikap permisif masyarakat terhadap praktik dinasti politik dalam pilkada yang berkontribusi terhadap kemenangan kandidat yang terindikasi dinasti politik, ”tulis laporan itu yang diterbitkan di Jurnal Moderat pada Februari 2024.

Mengapa Dinasti Politik Langgeng?

Dinasti politik tumbuh subur di Indonesia lantaran secara aturan memuluskannya. Sebab, regulasi yang sebelumnya melarang politik dinasti telah dihapus. Aturan larangan politik dinasti persisnya diatur dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Pada poin huruf r disebutkan sebelumnya Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan, yakni tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.  

Namun,  pasal itu dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015. Oleh karena itu, poin huruf r yang mengatur politik dinasti telah dihapus dalam dalam aturan berikutnya yakni  UU No.10 Tahun 2016.

Pengamat Politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto menjelaskan, dinasti politik secara hukum tidak ada aturan yang dilanggar.  Namun, kata dia, secara faktual politik mengganggu regenerasi atau suksesi politik yang tidak demokratis. 

“Maka dari itu (regulasinya) perlu ditinjau ulang agar dibatasi,” paparnya. 

Sementara, Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iding Rosyidin menilai, meski tidak melanggar konstitusi tetapi  dinasti politik bermasalah pada aspek etika. Sayangnya, pemilih di Indonesia tidak terlalu memperhatikan aspek tersebut. Kabar baiknya, pemilih pemula mulai memperhatikannya.

“Pemilih tradisional abai terhadap dinasti politik, sebaliknya pemilih pemula lebih rasional yang mempertanyakan adanya praktik dinasti politik,” ungkapnya.

Dampak Dinasti Politik

Profesor Politik Komparatif dari Universitas London (SOAS) di Inggris, Michael Buehler, menyebut sistem politik Indonesia bermasalah karena melahirkan dinasti politik.

Akibat dari dinasti politik yang begitu luas adalah rusaknya integritas demokrasi, dominasi jaringan klientelisme dan jaringan informal atas partai politik, serta kegagalan dalam reformasi akibat kuatnya perilaku koruptif dan predatoris.

Alhasil, masyarakat menanggung dampak dari dinasti politik, seperti kemiskinan dan pembangunan yang rendah.

Terbukti, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak.

Jawa tengah berada di urutan ketiga.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2023 di Jawa Tengah (73,39) berada di bawah rata-rata Indonesia (73,55).  

Sementara Jawa Tengah masuk dalam 10 besar daerah yang paling banyak terjadi korupsi (2004-2019). 

Kondisi tersebut selaras dengan kajian dari penelitian dari Universitas Sebelas Maret, Zelika Dewi F, dkk bertajuk “Kajian Eksistensi Dinasti Politik Terhadap Performa Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten Klaten”.

Dinasti politik tumbuh di Klaten selama kurang lebih 20 tahun  dinasti politik di Kabupaten Klaten merupakan jenis dinasti politik populis yang dasar pembentukannya berangkat dari menampilkan sosok figur merakyat dan program populis, menjaga status quo yang dibentuk atas by accident.

Selama puluhan tahun Klaten dipimpin oleh pasangan bupati dari dua keluarga yang memiliki keterkaitan suami-istri antara Haryanto Wibowo dan Wisnu Hardono, Sunarna -Samiadji, Sunarna - Sri Hartini, Sri Hartini dan Sri Mulyani.

Dalam penelitian di Kabupaten Klaten itu dipaparkan, korupsi mengalami tren yang meningkat setiap tahunnya, peningkatan ini berarti negatif karena ada penyelewengan kekuasan di setiap periodenya. 

“Indikator-indikator yang memiliki pola terburuk adalah korupsi dan ketimpangan pendapatan sehingga pertumbuhan ekonomi selama pemerintahan dinasti politik kurang memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat umum,” tulis penelitian itu yang diterbitkan di Jurnal Dinamika pada 2019.

Sementara, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menuturkan dinasti politik memiliki kecenderungan melakukan praktik-praktik kotor dan kecurangan yang sifatnya tindak pidana korupsi. 

“Dinasti politik pada dasarnya adalah dia ingin mengkapitalisasi kekuasaan lewat hubungan darah. Jadi hubungan darah itu digunakan untuk kekuasaan langgeng. Dan ketika itu terjadi akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang tidak elok,” katanya. 

Dinasti Politik, lanjut dia, juga berpotensi mengerdilkan demokrasi.

Sebab, ketika satu klan keluarga sudah memiliki power, sumber daya, mulai dari uang, praktik patron-klien dan seterusnya, maka akan ada potensi menyingkirkan calon-calon lain misalnya sehingga tidak bisa maju dalam kompetisi Pilkada.

Hal ini diamini Khoirunnisa Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nur Agustyati.

Dia mengatakan, dinasti politik ini upaya melanggengkan kekuasaan melalui hubungan darah. 

“Dinasti politik  menjadi  lebih buruk adalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan itu juga mengacak-acak aturannya, itu yang terjadi hari ini,” ungkapnya.

Potensi Konflik Pilkada 2024 di Jawa Tengah

Sementara Pakar Politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahid Abdulrahman melakukan analisis sederhana terkait tingkat kompetisi politik dalam Pilkada Jawa Tengah 2024.

Analisis ini menggunakan pendekatan kualitatif. 

Hasilnya,  tingkat kompetisi yang tinggi/ketat berpotensi terjadi di 23 Kabupaten/Kota meliputi: Kota Semarang, Kendal, Demak, Kudus, Kota Salatiga, Jepara, Pati, Rembang, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Klaten, Kota Surakarta, Kota Magelang, Temanggung, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga,Cilacap, Kota Tegal, dan Batang. 

Di Kabupaten Kebumen misalnya, terdapat dua bakal paslon yakni satu paslon petahana (Arif Sugiyanto-Ristawati P yang diusung oleh PDIP, Golkar, PKS, PAN, PPP, Perindo, Buruh, PBB) dan satu paslon penantang (Lilis Nuryani-Zaeni M diusung oleh PKB, Nasdem, Gerindra, Demokrat, PSI, Gelora, Ummat).

Secara dukungan partai keduanya relatif berimbang, sementara paslon penantang memiliki jaringan politik, modal sosial dan modal finansial yang kuat sehingga pilkada di Kebumen akan berlangsung sengit.

Sebaliknya tingkat kompetisi yang rendah berpotensi terjadi di 7 kabupaten/kota yakni Kabupaten Semarang, Blora, Sukoharjo, Wonosobo, Banyumas, Brebes, dan Kota Pekalongan.

Di wilayah tersebut terdapat satu paslon yang sangat mendominasi bahkan di beberapa daerah seperti di Brebes dan Banyumas berpotensi melawan kotak kosong. 

Di Brebes bakal paslon Paramitha Widya K-Wurja yang diusung oleh 11 partai, 98 persen suara sah atau 100 % kursi DPRD dan di Banyumas bakal paslon Sadewo Tri L-Dwi Asih L diusung sebanyak 12 partai. 

“Variabel penentu tingkat kompetisi dalam pilkada di wilayah Jawa Tengah meliputi jumlah pasangan calon, eksistensi petahana, mesin politik, modal sosial dan dukungan finansial yang dimiliki oleh pasangan calon,” kata Wahid yang juga Mahasiswa Program Doktoral Goethe University Frankftur Jerman ini.

Koordinator Divisi Humas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Tengah, Sosiawan memaparkan, lembaganya akan melakukan pengawasan secara khusus terhadap para calon pasangan kepala daerah di Pilkada Jawa Tengah yang berasal dari trah dinasti. Pengawasan secara khusus tersebut di antaranya adalah potensi terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Selain itu, kata dia, sumber daya kekuasaan berkelindan dengan sumber daya ekonomi jadi potensi politik uang juga akan menjadi lebih besar.

“Misal ada calon dari dinasti politik yang menjabat sebagai kepala daerah atau menjabat posisi lain yang berkaitan. Itu bisa menjadi potensi penyalahgunaan kekuasaan, pengawasan secara khusus netralitas ASN, TNI, Polri kades dan perangkat desa,” terangnya.

Pihaknya tidak ingin pelanggaran pemilu yang terjadi Pilpres dan Pileg Februari 2024 kembali terjadi. Bawaslu Jateng mencatat terdapat 21 kasus pelanggaran netralitas yang berkaitan dengan kepala desa, perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Program Keluarga Harapan (PKH), dan pemberdaya masyarakat desa selama pemilu Pilpres dan Pileg 2024. 

“Dinasti politik lebih rawan atau tidak nanti harus melihat kondisi di lapangan Yang pasti, dinasti politik memiliki kekuatan jaringan jadi akan lebih tertata, lebih kuat, dinasti politik juga sudah memiliki pengalaman sehingga perlu pengawasan lebih,” sambung Sosiawan. (*)

"Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit,  tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa."

Iwan Arifianto - jateng.tribunnews.com

Untuk membaca artikel lengkap dari penulis, silakan klik link berikut