Report
Menakar Manfaat Keterlibatan Dayah dalam Politik di Banda Aceh
Tim Sekretariat
Senin 30 September 2024

Wahyu Mimbar masuk ke dalam musala di Kompleks Putra Dayah Darul Fikri Al Waliyah, Kamis (12/9/2024) malam. Sebelas jamaah laki-laki, terdiri dari santri putra dan warga menyambutnya dengan mencium takzim tangan pimpinan dayah berusia 48 tahun itu.
Mereka telah menunggu di ruangan bernuansa putih-hijau tosca, berukuran lebih kurang 12x10 meter itu sejak ba'da Isya, sekira pukul 21.15 WIB. Tanpa instruksi, jemaah kemudian duduk bersila mengitari pria yang sering dipanggil Abi Wahyu Mimbar dan mendaraskan doa pembuka yang memecahkan keheningan malam.
Wahyu, pemimpin dayah beraliran salafiyah atau tradisional itu membaca kitab kuning berbahasa Arab yang terbentang di meja kecil di depannya. Setelah membaca satu kalimat, ia lanjutkan dengan menjelaskan maksudnya.
Ia membahas tentang kehidupan manusia dan Sang Khalik. Termasuk mengenai cobaan seorang hamba dari godaan dunia, salah satunya jabatan.
“Allah terkadang memberikan cobaan kepada hambanya dengan berbagai hal. Termasuk melalui jabatan. Terkadang, banyak orang lupa kepada Allah saat menjabat,” ucap Alumni Dayah Darussalam Al-Waliyah, Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan.
Pengajian umum yang digelar tiap Kamis selepas Isya ini berakhir pukul 23.00 WIB. Wahyu mengatakan pengajian umum ini sudah digelar sejak dayah berdiri pada 5 Oktober 2010 di Gampong Cot Lamkuweueh, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh.
Jumlah warga yang hadir, tidak tentu. Namun Abi Wahyu menyebut, pernah hingga 260 orang. Jauh berbeda, dengan yang hadir malam itu.
Alumni Prodi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry itu tidak mengharamkan pembicaraan politik dalam pengajian umum. Ada juga yang bertanya soal pilkada.
“Cuma kadang-kadang tidak saya pertajam,” jelas Wahyu yang juga mengajarkan ilmu tauhid, fiqih, dan tasawuf.
Wahyu berpandangan dayah punya peran mengedukasi masyarakat termasuk santri, mengenai politik yang santun dan beretika. Termasuk memilih calon pemimpin sesuai ketentuan Islam.
“Menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, itu menjadi inti. Pemimpin seperti ini yang kita harapkan,” imbuhnya.
Dayah setingkat SMA ini menerima siapapun yang ingin belajar agama di dayah berkonsep tradisional ini. Pengajian bersifat terbuka untuk siapa saja, termasuk politisi dan pejabat publik.
Darul Fikri Al Waliyah merupakan satu dari 34 dayah salafiyah di Kota Banda Aceh. Konsep pembelajaran di lembaga pendidikan agama ini masih menggunakan sistem tradisional, seperti bandongan dan sorogan.
Sorogan merupakan pengajian atas permintaan dari seorang atau beberapa santri untuk mengkaji kitab tertentu. Sedangkan bandongan adalah metode pengajian yang inisiatifnya dari sang kiai, baik dalam menentukan kitab, waktu, dan tempatnya.
Model pembelajaran di dayah salafiyah terpusat pada teungku atau ulama. Kurikulumnya mengajarkan soal adab, fiqh, tauhid, dan tasawuf dengan referensi kitab-kitab klasik atau kuning yang ditulis para ulama.
Konsep pondok salafiyah berbeda dengan dayah terpadu atau modern. Dayah terpadu memadukan antara konsep pendidikan agama tradisional dengan pendidikan formal. Seperti Dayah Terpadu Inshafuddin di Gampong Bandar, Kecamatan Kuta Alam. Pesantren ini, satu dari enam dayah terpadu yang ada di Kota Banda Aceh.
Wakil Pimpinan Dayah Terpadu Inshafuddin, Nasrul Zahidy mengatakan santri putra dan putri yang menempuh pendidikan di dayahnya, mayoritas masih menempuh pendidikan agama maupun umum. Ketika mengadakan pengajian umum, materinya hanya membahas mengenai akhlak dan adab manusia terhadap Sang Pencipta dan hanya diikuti para santri yang masih duduk di sekolah.
“Kitab ini membahas tentang adab atau kesopanan manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan, agama, nabi, diri sendiri, dan orang lain,” kata dia.
Nasrul mengatakan pihaknya tidak terlalu serius membahas soal Pilkada. Pengajar hanya membahas sebatas kewajiban bagi santri yang sudah memiliki hak pilih saat “pesta” demokrasi.
“Di sini, paling tinggi tingkatan adalah SMA. Yang punya hak memilih cuma kelas tiga SMA, jadi memang kita sama sekali tidak ada pembahasan politik secara khusus,” jelas Nasrul.
Lantunan ayat suci Al-Qur’an bergema melalui pengeras suara di masjid-masjid. Sementara sang surya mulai beringsut ke barat dan sinarnya mulai redup.
Di ruang tamu salah satu bangunan di kompleks asrama putra Dayah Darul Fikri Al Waliyah, Abi Wahyu mengisahkan pengalaman politiknya tujuh tahun silam. Kejadian itu bermula saat gurunya meminta Wahyu menghadiri undangan mendoakan seorang calon kepala daerah yang berkompetisi di Pilkada.
Abi Wahyu mengaku sebenarnya tidak ingin menghadiri undangan ini. Namun ketaatan pada guru, membuat Wahyu sulit menolak permintaannya. Ia takut disebut tidak patuh kepada orang yang telah mendidiknya.
Alhasil, setelah itu Dayah Darul Fikri Al Waliyah tidak pernah mendapat bantuan aspirasi dari pemerintah. Pria asal Kabupaten Aceh Barat Daya itu menduga undangan doa yang pernah ia hadiri itu tidak berkenan di hati lawan politik yang belakangan terpilih dan menduduki kursi pimpinan pemerintah.
“Saya baru tahu ketika selama lima tahun dayah saya tidak mendapatkan bantuan. Istilahnya dicoret,” ungkapnya.
Sejak itu, ia mulai membatasi diri untuk terlibat politik. Terutama bila membawa nama lembaga pendidikannya dalam memihak salah satu calon peserta Pilkada.
Ia khawatir keterlibatannya dalam politik membawa dampak terhadap dayahnya. Ia ingin dayahnya tetap hidup dan aktif mengajarkan pendidikan agama serta jamaah pengajian umumnya tidak berkurang.
Namun, Kepala Dinas Pendidikan Dayah Kota Banda Aceh, Muhammad membantah ada pilih kasih dalam pemberian bantuan bagi dayah. Bantuan atau hibah, begitu Muhammad menyebutnya, diberikan melalui pengajuan proposal. Itupun, tidak semua terealisasi.
“Mereka mengajukan proposal ke wali kota. Kemudian wali kota mendisposisikan ke kami. Kalaupun ada anggaran ya disahkan,” kata Muhammad, saat dikonfirmasi IDN Times, Sabtu (28/9/2024).
Dayah Terpadu Inshafuddin menerapkan prinsip tidak berpihak terhadap satu calon. Nasrul mengaku lembaga mereka memilih netral meski pimpinan dayah menjadi petinggi di Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh.
Nasrul berpendapat berpihak terhadap satu calon di Pilkada akan membawa dampak terhadap dayah. Mereka mengaku lebih mengutamakan fungsi dayah sebagai lembaga pendidikan.
“Kita tetap netral dalam hal ini,” tegas Teungku Nasrul.
Pengalaman terlibat politik juga pernah dialami Teungku Nasrul. Ia menjadi anggota tim sukses salah seorang calon di Pilkada Kabupaten Aceh Besar pada 2017.
Nasrul mengatakan terlibat dalam politik adalah hak setiap orang. Syaratnya, tidak membawa nama lembaga pendidikan agama yang dimilikinya. Dia bersyukur santrinya didominasi anak yang belum memiliki hak memilih.
Sementara, Pengamat Politik dari Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Effendi Hasan MA menjelaskan pilkada memang perhelatan untuk merebut kekuasaan. Ini mengapa, para politisi berupaya menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, termasuk masuk dan mendekati pimpinan dayah.
Tidak ada larangan bagi seseorang untuk terlibat dalam politik, termasuk pimpinan dayah maupun santri. Bahkan hal itu dilindungi oleh negara melalui konstitusi. Namun, sebagai lembaga pendidikan, dayah maupun institusi pendidikan lainnya menurut Effendi, harus netral. Tidak boleh terlibat dalam politik. Walau pimpinan lembaga tersebut terlibat politik.
“Kalau secara lembaga tidak boleh, kalau secara personal itu silahkan menentukan arah politiknya,” kata Effendi kepada IDN Times, Senin (30/9/2024).
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USK itu, juga menyebut langkah politisi yang mendiskriminasi dayah yang tidak mendukung mereka, sebagai tindakan yang tidak adil dan melanggar nilai demokrasi.
“Tidak boleh calon itu memaksa kemudian mengintimidasi, karena itu tidak sesuai lagi dengan nilai demokrasi,” ujar Effendi.
Ia berharap, dayah bisa berperan memberikan pendidikan politik yang baik untuk santri agar jadi pemilih cerdas. Tentunya, memilih calon berdasarkan visi misi atau gagasan yang ditawarkan bukan atas pemberian maupun intimidasi.
“Dengan kita memberikan pendidikan politik tersebut, saya yakin akan lahir pemimpin yang punya integritas, bukan pemimpin yang dipilih berdasarkan bayaran atau transaksional,” kata Effendi Hasan.
Antara Penting dan Kepentingan
Alfarisi Billahsyah, mahasiswa FISIP USK membuat skripsi dengan tema keterlibatan dayah dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 di Banda Aceh. Ia mengambil dua sampel sebagai studi kasus, yakni Dayah Bustanul Huda di Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur dan Dayah Terpadu Inshafuddin di Kota Banda Aceh.
Alfarisi menilai dua lembaga pendidikan agama ini aktif mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan politik. Misalnya, menjadi tempat pertemuan para tokoh politik yang ikut dalam Pilkada maupun Pileg.
Dari penelitiannya, Alfarisi menyimpulkan dayah sangat berpengaruh terhadap arah politik di Tanah Rencong. Alasannya, para santri ataupun masyarakat sekitarnya selalu menjalankan setiap pernyataan yang dikeluarkan pimpinan dayah.
Keterlibatan dayah dalam politik berawal dari kedekatan pimpinan dayah dengan para caleg yang kemudian dilanjut dengan kunjungan ke dayah-dayah. Kedekatan hubungan antara caleg dengan pimpinan dayah menjadi alasan keberlangsungan pembelajaran.
Alfarisi menemukan kontestan Pileg 2019 mendatangi lembaga pendidikan dayah dengan dalih menyalurkan bantuan. Kontestan itu datang karena ingin memperoleh dukungan dari pihak dayah.
“Sebagai lembaga pendidikan sebaiknya dayah tidak terkontaminasi oleh politik praktis,” simpul Alfarisi dalam jurnal Keterlibatan Dayah Dalam Perpolitikan Praktis di Aceh pada Pileg 2019.
Di jurnal itu, Alfarisi mewawancarai Pimpinan Dayah Terpadu Inshafuddin, Abdullah Usman. Ia mengatakan politisi perempuan, Illiza Sa'aduddin Djamal pernah datang ke tempat itu beberapa tahun lalu. Usman sempat mengaku kepada Alfarisi, calon wali kota dalam Pilkada Banda Aceh 2024 ini memiliki hubungan dekat dengan pimpinan dayah.
Illiza bukan satu-satunya. Politisi lain yang juga pernah mengunjungi Dayah Terpadu Inshafuddin antara lain Ketua Umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem Aceh saat itu, Teuku Taufiqulhadi. Ia datang bersama sejumlah kader partai dengan dalih membangun dan memperkuat silaturahmi dengan para ulama dayah, Senin (4/10/2021).
Usman mengaku semua kontestan yang datang berkunjung atau silaturahmi ke dayah akan diterima. Bila mereka minta dukungan ke dayah, pihaknya akan melihat terlebih dahulu karakter para politisi itu.
Sementara itu, Wahyu mengatakan hal sama. Dia mengaku Dayah Darul Fikri Al Waliyah pernah dikunjungi sejumlah calon dari berbagai daerah saat menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Para politisi itu datang hanya untuk meminta doa agar terpilih di pesta demokrasi.
“Bahkan saat pemilu kemarin, hampir tujuh orang datang ke dayah. Mereka minta doa,” ujar Wahyu.
Jurnal hasil penelitian Alfarisi menyebutkan peran dayah dalam perpolitikan di Aceh adalah untuk memberikan nilai-nilai agama dan memperbaiki akhlak para santri ataupun masyarakat. Menurut dia, pengaruh dayah terhadap politik di Aceh sangat besar.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh dalam Buku Aceh Dalam Angka 2024, ada 38 pondok pesantren atau dayah di Kota Banda Aceh hingga tahun 2023. Total santri mencapai 4.052 orang dan tenaga pengajar 398 orang.
Akademisi sekaligus pengamat politik di Aceh, Dr Teuku Zulkhairi mengatakan selama ini santri dan komunitas dayah terbiasa menerima semua tamu yang datang, termasuk menjelang pemilihan umum. Ia mengatakan keterlibatan dayah dalam politik memiliki dampak positif maupun negatif bagi lembaga pendidikan agama itu.
Dampak positifnya, ada relasi dengan para pengambil kebijakan di pemerintahan sehingga terbuka kemungkinan mendapat bantuan. Sedangkan dampak negatifnya, dayah bisa dijauhi masyarakat dan lawan politik dari calon lain karena dianggap berpihak.
“Saya kira ini sebenarnya sama-sama membutuhkan. Orang santri membutuhkan politisi yang mau membantu mereka dan di sisi yang lain politisi ini juga butuh bantuan mereka,” ujar Zulkhairi, kepada IDN Times, Jumat (13/9/2024).
Pengaruh Dayah Terhadap Suara Calon
Muhammad Novriansyah, Zuriah, dan Teuku Amnar Saputra pernah melakukan penelitian terkait ulama atau pimpinan dayah dalam perpolitikan di Aceh. Mereka menggali peran dan eksistensi politik ulama dayah dalam politik di Tanah Rencong.
Penelitian Novriansyah dan kawan-kawan (dkk) menjadi sebuah jurnal dengan judul Eksistensi Ulama Dayah dalam Perpolitikan di Aceh 2024. Jurnal tersebut dipublikasikan melalui Journal of Government Science Studies, Rabu (27/4/2024).
Novriansyah merupakan dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam. Sedangkan Teuku Amnar, dosen Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Mereka dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIS) Al-Hilal Sigli. Sementara Zuriah pengajar di Program Studi Hukum Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki).
Hasil penelitian tiga dosen ini menemukan ulama dayah memiliki posisi sangat penting dalam masyarakat. Ditambah lagi, ulama atau pemimpin dayah berada di posisi sebagai pendidik yang terjun langsung ke masyarakat.
Selain mengajarkan agama, pimpinan dayah mempunyai peran dalam beragam ritual keagamaan. Seperti mendoakan dan mensalatkan jenazah, mendamaikan pihak-pihak yang berseteru, membantu pembagian harta warisan, memimpin prosesi adat dalam masyarakat, dan lainnya.
Hal ini membuat kedudukan para ulama menjadi lebih spesial karena perannya tidak dapat diganti orang lain. Perkataan, seruan dan larangan mereka dalam banyak hal, termasuk soal politik akan didengar masyarakat.
Novriansyah menyampaikan para politisi menggunakan otoritas ulama yang memiliki banyak umat ini untuk mendapat dukungan politik. Keberpihakan para ulama dayah bisa berdampak signifikan dalam perolehan suara.
Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin dakwah, tetapi juga aktor kunci dalam arena politik. Tak heran bila dalam setiap kampanye, para ulama selalu diajak naik panggung bersama para politisi. Para ulama sering menjadi ujung tombak pembicara dalam penggalangan dukungan.
“Sebagai daerah yang kental akan nilai-nilai keislaman, para politisi yakin otoritas keagamaan dan narasi keagamaan dapat digunakan untuk menggiring masa dalam pemilihan,” tulis Novriansyah dkk dalam jurnal Eksistensi Ulama Dayah dalam Perpolitikan di Aceh 2024.
Klaim mendapat dukungan para ulama atau pimpinan dayah turut diperlihatkan para politisi di Pilkada Banda Aceh. Illiza Sa'aduddin Djamal yang berpasangan dengan Afdhal Khalilullah di Pilkada Banda Aceh ini mengaku dibantu sejumlah ulama untuk maju. Bahkan ia mengklaim sejumlah ulama dayah siap menjadi juru kampanye untuk memenangkan dirinya.
“Insya Allah Ustaz Abdul Somad juga akan datang untuk memberikan motivasi untuk kita,” kata Illiza, kepada IDN Times, Rabu (28/8/2024).
llliza berencana untuk berkolaborasi dengan dayah bila terpilih sebagai wali kota. Alasannya, Banda Aceh membutuhkan generasi yang soleh dan soleha sebagai tonggak kebangkitan Islam.
“Di zaman atau era saat ini, kita butuh berkolaborasi dengan dayah, dengan sekolah, dan saya tidak peduli dengan persoalan ada didukung atau tidak, yang penting saya mendukung dayah,” katanya.
Menanggapi keterkaitan dayah dan santri dalam politik praktis, ia mengatakan itu hak semua orang dan tidak bisa dibatasi. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini juga tidak mengharamkan pimpinan dayah menjadi anggota partai selama tidak membawa lembaga pendidikan agama ke ranah politik. Illiza sendiri mengaku tidak membawa nama lembaga pendidikan agama walau ia memiliki latar belakang sebagai orang dayah.
Pasangan Illiza Sa'aduddin Djamal-Afdhal Khalilullah Mukhlis maju setelah didukung tiga partai, yakni PPP, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Partai Golongan Rakyat (Golkar). Belakangan, Partai Ummat dan Partai Nanggroe Aceh (PNA) juga ikut mendukung.
Sementara itu, Aminullah Usman yang juga kandidat wali kota Banda Aceh, memiliki pandangan lain soal peran ulama dan dayah dalam pesta demokrasi daerah. Dia mengaku memiliki program untuk menyatukan ulama dan umara karena ulama bisa mengarahkan kepemimpinannya dalam menguatkan syariat Islam.
“Kalau sudah jadi pemimpin, ulama harus kita libatkan,” kata Aminullah, Rabu (11/9/2024).
Aminullah maju di Pilkada Banda Aceh berpasangan dengan Isnaini Huda. Mereka diusung tiga partai, yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebagai pendukung adalah Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh, Partai Generasi Atjeh Beusaboh Tha’at Dan Taqwa (Gabthat), dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora).
Meski didukung sejumlah partai berbasis agama, ia membantah mendekati para ulama untuk mengumpulkan suara.
“Bukan dalam mengumpulkan suara. Tetapi dalam menjalankan peran pemerintah,” ujarnya singkat.
Pengamat politik di Aceh, Zulkhairi mengatakan ulama atau pimpinan dayah merupakan sosok yang dihormati dan didengar oleh masyarakat di Aceh. Kondisi itu membuat sejumlah politisi di Tanah Rencong yang dekat dengan kalangan ulama kerap menang dalam Pileg serta Pilkada.
“Semua politisi tentu berharap didukung oleh masyarakat termasuk kalangan ulama dan dayah,” kata Zulkhairi.
Boleh Melangkah Tapi Awas Hilang Arah
Novriansyah dkk dalam penelitiannya menemukan, belakangan ini ulama mulai memilih menjadi politisi. Dalihnya untuk memperbaiki daerah yang dianggap sudah banyak menyimpang dari ajaran agama.
Lahirnya partai lokal, Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh yang identik dengan kedayahan menjadi bukti peran politik para ulama dayah di Tanah Rencong. Selain itu, ulama dayah juga menjadi pemimpin atau pengurus partai politik. Sedangkan yang tidak terlibat langsung, memilih mimbar dakwah maupun balai sebagai tempat mengkampanyekan keberpihakan politik.
Zulkhairi mengatakan keterlibatan ulama atau pimpinan dayah dalam politik bukan suatu kesalahan. Di dayah, diajarkan bahwa politik adalah bagian dari ajaran Islam.
“Bahwa Islam itu mengatur termasuk urusan politik,” ujarnya.
Para ulama atau pimpinan dayah mengetahui kehadiran politisi ingin meraup dukungan dalam pemilu. Jika calon yang bersangkutan bisa meyakinkan pimpinan dayah, ia akan mendapat dukungan.
Teguh, seorang warga Kabupaten Aceh Besar tidak mempermasalahkan dayah maupun pimpinan lembaga pendidikan agama terlibat dalam politik. Ulama memiliki peran dalam perkembangan politik di Indonesia, khususnya di Aceh sehingga tidak ada larangan bagi tokoh agama terlibat politik.
Ia juga mendukung dayah maupun santri menjadi kontestan dalam Pileg atau Pilkada. Namun, para santri harus memahami dunia politik dulu agar tidak jadi korban politik.
“Pada dasarnya santri-santri dayah juga harus paham akan politik itu sendiri,” kata Teguh, Jumat, 20 September 2024.
Sedangkan Dinda, warga Kota Banda Aceh mengatakan ulama atau pimpinan dayah layak terjun ke dunia politik. Tentunya tidak hanya sebagai pendulang suara.
“Boleh saja sih ulama terjun ke politik. Asal jangan dimanfaatkan saja sama politisi. Selama ini banyak tokoh agama dirangkul hanya untuk mencari suara saat pemilihan,” ucap Dinda, Jumat, 20 September 2024.
Muslim, santri putra alumni salah satu dayah di Kota Banda Aceh mengaku tidak mempermasalahkan dayah terlibat dalam politik. Keterlibatan dayah dalam politik memiliki sisi positif dan negatif.
Ia mengatakan dayah memiliki tanggung jawab moral memberikan bimbingan kepada masyarakat terkait nilai-nilai kepemimpinan yang baik menurut Islam. Dan ulama dianggap sebagai sosok panutan bagi masyarakat sehingga turut menentukan pilihan politik.
Di sisi lain, keterlibatan dayah dalam politik praktis juga dapat memunculkan masalah. Risiko netralitas dayah sebagai lembaga pendidikan bisa tercoreng.
“Idealnya, dayah memberikan arahan moral dan etika tanpa harus memihak kandidat tertentu,” kata Muslim, Senin (23/9/2024).
Sepengetahuan Muslim yang mondok pada 2013-2018, ustaz selaku pengajar di dayah tidak pernah menggiring dukungan politik dari santri untuk memilih salah satu calon kandidat dalam Pileg atau Pilpres. Pembahasan politik, hanya sebatas tentang pandangan Islam melihat pemimpin yang baik, yaitu yang adil, berakhlak baik, dan berkomitmen menegakkan keadilan serta kesejahteraan rakyat.
“Tanpa menyebut nama atau mengarahkan pilihan politik,” ujar pria berusia 24 tahun itu.
Nauval, santri putri alumni salah satu pesantren di Kabupaten Aceh Besar juga mengaku tidak ada pembahasan politik di dayah juga diakui. “Sama sekali tidak ada. Bahkan guru-guru atau ustazah itu tidak ada membahas politik sama sekali,” kata Nauval, Selasa (24/9/2024).
Padahal menurut perempuan berusia 26 tahun ini, seharusnya perlu ada edukasi dan literasi politik kepada para santri. Saat itu, ia sudah duduk di SMA dan memiliki hak pilih.
Nauval mengatakan pemilih pemula perlu diberi pemahaman tentang politik. Khususnya bagaimana cara memilih pemimpin yang tepat.
Meski perlu ada literasi politik bagi santri, tetapi Nauval yang pernah mondok pada 2013-2015 ini kurang setuju bila dayah terlibat dalam Pilkada atau Pileg. Misalnya, ikut menggiring santri untuk memilih salah satu paslon.
“Harusnya dayah itu netral,” kata dia.
Azan Ashar berkumandang di ibu kota Bumi Serambi Makkah. Wahyu menyetop cerita kelam pilkada yang pernah membuat dayahnya terpuruk.
Sebelum pamit ke musala untuk salat berjemaah, Pimpinan Dayah Darul Fikri Al Waliyah itu kembali menegaskan lebih baik tidak berpolitik daripada harus kehilangan jemaah yang belajar agama. (*)
"Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa."
Muhammad Saifullah - IDN Times Sumut
Untuk membaca artikel lengkap dari penulis, silakan klik link berikut