Suatu cara pandang
Sejak pertengahan dekade pertama abad ke-21, kita menyaksikan banyak perusahaan media besar menutup dirinya, mereorganisasi perusahaannya, memperkecil unit usahanya, hingga menutup media cetak dan berganti menggunakan platform media online. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Negara Barat seperti di Amerika Serikat, Eropa Barat, ataupun Australia (Meyer, 2009; Grueskin, Seave & Graves, 2011; Lee-Wright, Philips, Witschge, 2012), tetapi juga terjadi di Indonesia (Bintang et.al, 2022).
Satu perkembangan yang juga tak dapat dinafikan adalah kehadiran perusahaan teknologi besar yang membuat proses produksi dan proses distribusi berita pun jadi berubah. Perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, yang pada tahun 2017 saja periklanan digital di Amerika dikuasai oleh kedua perusahaan itu hingga 63 persen. Di Indonesia saya kira angka ini bisa mencapai 90 persen. Berkuasanya dua platform raksasa teknologi ini juga berpengaruh pada perkembangan industri media di Indonesia. Google dan Facebook yang juga menjadi distributor berita-berita yang dihasilkan oleh banyak perusahaan media, meraup banyak pendapatan yang tadinya dimiliki perusahaan media tersebut. Karena fenomena ini pulalah fenomena kemunculan SEO (Search Engine Optimation) menjadi suatu keharusan bagi para pembuat konten berita, agar berita yang dihasilkannya dapat mudah terdeteksi dalam mesin pencari seperti Google (Sudibyo 2019; Carlson, 2021).
Bapak Ibu sekalian yang terhormat, media massa dan media lain yang mengikuti perkembangannya, dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi yang bertugas untuk menyampaikan informasi, memberikan pendidikan kepada publik dan menjadi alat kontrol sosial kepada penguasa (Gunther & Mughan, eds, 2000; Fenton, 2010; Briggs & Burke, 2006). Jika pilar demokrasi mengalami krisis dalam perubahan teknologi saat ini, dapat dibayangkan pilar ini tak dapat berfungsi dengan optimal dalam menjalankan fungsi informasi, pendidikan ataupun kontrol sosial tersebut. Karena pentingnya peran dari pilar demokrasi tersebut, maka menjadi penting juga untuk melihat bagaimana perubahan landscape media saat ini akan mempengaruhi fungsi media ke depannya (Hampton, 2010; Perloff, 2020).
Seorang pemikir asal Belanda yang karyanya pernah diterjemahkan oleh Dick Hartoko, van Peursen (dalam buku Strategi Kebudayaan), pernah mengemukakan tiga cara pandang dalam melihat perubahan yang ada di sekitar kita. Pertama, disebut sebagai pandangan yang Mitologis, dimana perubahan yang ada di sekitar kita dilihat dengan ketakutan, kecurigaan, seperti melihat hal yang asing, tak dikenali. Cara pandang kedua adalah cara pandang Ontologis, dimana hal yang asing tadi diperiksa lebih jauh, digumuli, digulati agar kita melihat A-Znya dari suatu fenomena. Cara pandang ini sudah lebih maju daripada kita melihat dengan kecurigaan, karena lalu kita ingin ‘berkawan’, mengetahui lebih jauh dan mengenali juga kelemahannya. Cara pandang ketiga adalah cara pandang Fungsional, dimana kita bergerak lebih maju lagi, dari mengenali, memahami, lalu kemudian kita memanfaatkan, menggunakan, mana yang cocok untuk kepentingan kita. Dengan menggunakan tiga cara pandang lain hal-hal baru di sekitar kita, terutama terkait dengan teknologi baru, dan teknologi lain yang belum kita lihat sekarang, kita tidak melulu jatuh pada ketakutan, kecurigaan, bahkan ketidakberdayaan, tetapi sebaliknya kita HARUS mempelajarinya, mengetahui A-Znya suatu hal. Jika sikap belajar semacam ini tak dilakukan, maka ada kemungkinan kita akan tertinggal, terjerumus atau bahkan tergilas, menjadi tidak relevan. Dalam pendekatan lain ada yang menyebutnya hal ini sebagai soal "learning" dan "unlearning" atas hal-hal baru yang ada saat ini.
Memahami Disrupsi
Apa yang saya lakukan dengan studi yang baru saya selesaikan ini adalah juga bagian dari upaya untuk memahami fenomena digitalisasi yang terjadi dalam industri media dalam beberapa tahun belakangan ini. Tentu sedih melihat banyak media berguguran, banyak media tutup, memperkecil operasinya dan banyak jurnalis yang tidak lagi meneruskan profesinya. Tetapi itulah kehidupan di dunia, ketika kita tidak belajar hal baru, bisa jadi lalu kita menjadi tidak relevan, atau terbukti dimiliki oleh jaman sebelumnya.
Bapak Ibu sekalian para anggota AMSI dan juga tamu undangan lainnya, saya mencoba untuk meneliti ini sebagai upaya untuk memahami era digitalisasi dan mencoba untuk melihat apa yang bisa digali sebagai pelajaran ke depannya. Transformasi digital tak sesederhana memindah teknologi, karena banyak unsur manusia di dalamnya, dan manusia-manusia ini juga memberikan nuansa, teknologi seperti apa yang nantinya akan dikembangkan. Saya pribadi tetap percaya bahwa keberadaan manusia tak tergantikan oleh mesin-mesin yang paling canggih sekalipun. Pun keberadaan generative AI (Artificial Intellegence) yang sudah dibicarakan di berbagai forum, saya tetap percaya manusia adalah pengendali teknologi dan sebagaimana yang saya pernah dengar adagium yang muncul lewat media sosial: "Manusia bukannya dikalahkan oleh AI, tetapi manusia dikalahkan oleh manusia yang memanfaatkan AI". Saya setuju dengan pernyataan ini.
Artinya di sini manusia yang dituntut untuk terus memperbaharui dirinya, menambah ilmunya, menguasai teknologi, belajar hal baru, dan manusia punya ingatan atas pengetahuan yang ia miliki di masa lalu, dan manusia bisa berefleksi atas apa yang telah terjadi, dan apa makna dari perkembangan teknologi yang ada.
Penelitian yang saya lakukan kira-kira dapat disimpulkan begini, kapital transformatif (istilah yang dikembangkan dari konsep Pierre Bourdieu, 1930-2002) adalah hal yang dibutuhkan untuk dapat menyesuaikan diri dalam konteks media digital saat ini. Transformative capital, yang merujuk pada kemampuan dari individu ataupun organisasi untuk melakukan transformasi atas dirinya dari latar belakang dunia analog menuju dunia digital. Transformasi ini menjadi ukuran keberhasilan dari perusahaan untuk bisa beradaptasi dengan kondisi baru, dan melakukan transformasi tersebut bukanlah pekerjaan mudah karena membutuhkan suatu adaptasi besar dari organisasi yang ada, butuh adanya kepemimpinan yang tangguh, hingga melakukan pilihan pada teknologi tertentu yang diadaptasi untuk menyesuaikan diri dengan kondisi jurnalisme digital saat ini.
Operasionalisasi dari konsep kapital transformatif ini saya ambil dari peneliti manajemen media asal Swedia, Lücy Kung (2015), yang melakukan wawancara dengan sejumlah media yang dianggap innovator dalam pengembangan berita digital, yaitu: New York Times, The Guardian, Quartz, BuzzFeed dan Vice Media. Ada tujuh elemen yang ia sebut sebagai kunci sukses dari organisasi media yang melakukan transformasi digital:
- Kepastian dan kejelasan tujuan
- Kejelasan fokus strategi
- Kepemimpinan yang kuat
- Mendukung budaya digital
- Integrasi yang dalam antara teknologi dan jurnalisme, karena ‘masa depan berita ditulis dalam bentuk kode’
- Otonomi
- Mulai lebih awal
- Bintang, Samiaji; Haryanto, Ignatius; Suranto, Hanif, & Prestyanta, Albertus. (2022). Indonesian women journalists and precarious work. In Timothy Marjoribank; Lawrence Zion; Penny O’Donnell; Merryn Sherwood. (Ed). Journalists and Job Loss. London & New York: Routledge.
- Bourdieu, Pierre. (2005). The political field, the social science field, and the journalistic field. In Rodney Benson & Erik Neveu (Ed.). Bourdieu and The Journalistic Field. Cambridge: Polity Press. Briggs, Asa, & Burke, Peter. (2006). Sejarah sosial media: Dari gutenberg sampai internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Carlson, Matt. (Ed.). (2021). Measurable journalism: Digital platforms, news metric and the quantified audience. London & New York: Routledge.
- Fenton, Natalie (Ed.). (2010). New media, old news: Journalism and democracy in the digital age, London: Sage.
- Grueskin, Bill, Seave, Ava, & Graves, Lucas. (2011). The story so far: What we know about the business of digital journalism. Columbia Journalism School, Tow Center for Digital Journalism: Columbia University Press.
- Gunther, Richard; Mughan, Anthony. (Ed.). (2000). Democracy and the media: A comparative perspective. Cambridge University Press.
- Hampton, Mark. (2010). The fourth estate ideal in journalism history. In Stuart Allan. (Ed.). The Routledge Companion to News and Journalism. New York: Routledge.
- Küng, Lucy. (2015). Innovators in digital news. London: I.B. Tauris.
- Lee-Wright, Peter; Angela Philips, and Tamara Witschge (Ed.). (2012). Changing Journalism. London & New York: Routledge.
- Meyer, Philip. (2009). The vanishing newspaper: Saving journalism in the information age (2nd ed.). Columbia & London: University of Missouri Press.
- Newman, Nic; Fletcher, Richard; Kalogeropoulos, Antonis; Nielsen, Rasmus Kleis. (2019). Reuters institute digital news report 2019. Reuters Institute for the Study of Journalism.
- Newman, Nic; Fletcher, Richard; Eddy, Kirsten; Robertson, Craig T.; Nielsen, Rasmus Kleis (2023), Reuters institute digital news report 2023. Reuters Institute for the Study of Journalism.
- Perloff, Richard M. (2020). The dynamics of news: Journalism in the 21st Century Media Milieu. London & New York: Routledge.
- Sudibyo, Agus. (2019). Jagat digital: Pembebasan dan penguasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Van Peursen. C.A. (1988). Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.