Report

Pertarungan Perempuan Menjadi Kepala Daerah di Aceh

Tim Sekretariat
Senin 30 September 2024

Rabu, 28 Agustus 2024 sekitar pukul 14.00 WIB, Illiza Sa’aduddin Djamal dan Afdhal Khalilullah menaiki Jeep Willys menuju Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh untuk mendaftar menjadi bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh.  Menggunakan pakaian senada, atasan biru muda, keduanya diiringi pendukung, simpatisan dan kader partai yang mengendarai puluhan bentor, becak motor roda tiga, dan kendaraan roda empat. Suasananya meriah.

Jarak posko pemenangan pasangan yang didukung lima partai politik, PPP, Gerindra, Golkar, Partai Ummat, dan Partai Nanggroe Aceh (PNA) ke KIP Banda Aceh ini sebenarnya hanya 10 menit. Namun mereka memilih berkeliling kota Banda Aceh sambil menyapa pengguna jalan lainnya.

Mereka berangkat dari posko pemenangan di Jalan Pari, Lampriet, Dusun Piranha, Gampong Bandar Baru, Kecamatan Kuta Alam. Memutar melewati Masjid Agung Al Makmur (Masjid Oman) menuju Simpang Lima, melewati Pendopo Gubernur Aceh dan Simpang Jam, serta melewati Jalan Utama Masjid Raya Baiturrahman hingga menuju Kantor KIP Banda Aceh di Gampong Laksana, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

Sampai depan warung kopi Taufik Kupi di seberang kantor KIP Banda Aceh, pukul 15.00 WIB, pasangan ini disambut meriah para pendukungnya yang mayoritas perempuan. Bunda, panggilan akrab Illiza, memeluk beberapa pendukungnya yang menunggu di kantor KIP.

Mereka menyambut pasangan ini, dengan lantunan shalawat badar yang diiringi rapa’i, alat musik serupa rebana dan alat musik tiup tradisional Aceh, serunee kalee.

Bagi warga Banda Aceh, nama Illiza Sa’aduddin Djamal sudah tidak asing lagi. Perempuan kelahiran 31 Desember 1973 ini, merupakan anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia menjadi satu-satunya perempuan  dari Aceh yang terpilih sebagai anggota dewan periode ini. Namun ia gagal kembali ke Senayan, lantaran  perolehan suara PPP di Pemilu 2024 tidak mencapai ambang batas parlemen sebesar empat persen.

Anak pasangan almarhum Sa’aduddin Djamal dan Hamriah ini mengawali karir politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh sejak 2004 hingga 2006.  Setelah itu, ibu tiga anak ini menjadi Wakil Wali Kota Banda Aceh berpasangan dengan Mawardy Nurdin pada 2007 lalu.

Illiza dan Mawardy Nurdin terpilih kembali untuk periode 2012-2017. Namun di tengah periode kedua ini, Mawardy Nurdin meninggal dunia dan Illiza menggantikannya mulai 16 Juni 2014. Ia tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi Wali Kota di Aceh.

Terlahir dari keluarga politisi, membuat Illiza meyakini, menjadi kepala daerah adalah pilihan hidup. Ia tidak mengandalkan privilege atau hak istimewa dari sang ayah yang pernah menjadi orang nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Sang ibu yang baru meninggal 5 September lalu, juga pernah menjadi anggota DPRA.

Dalam wawancara khusus pada 28 Agustus lalu, sambil berlinang air mata, Illiza mengaku ingin meneruskan perjuangan dan mimpi ayahnya agar dirinya bisa mengikuti jejak politik sang ayah untuk kemaslahatan umat.

“Saya kalau sudah ngomongin orang tua, air mata ini tidak bisa terbendung, karena dari (empat) anak-anaknya yang lain, saya yang paling dekat dengan ayah. Pilihan saya adalah berpolitik. Saya bisa memberikan manfaat lain, bukan hanya untuk rumah tangga dan keluarga, tetapi juga untuk masyarakat. Karena pilihan ini, saya butuh ridha dari suami, orang tua, dan anak-anak,” ujarnya usai mendaftar dari KIP Banda Aceh.

Bagi Illiza, politik adalah ibadah terbesar. “Jika kita salat, itu hanya untuk diri kita sendiri, tetapi jika kita berpolitik, kita bisa memberikan dampak yang sangat luas. Saya punya link, ada persoalan masyarakat yang bisa saya sampaikan.”

Illiza pernah mencalonkan diri sebagai Wali Kota Banda Aceh pada Pilkada 2017 berpasangan dengan Farid Nyak Umar dari PKS. Namun, data dari KIP Banda Aceh, dari 94.453 total pemilih suara sah dalam Pilkada, pasangan Illiza Sa'aduddin Djamal-Farid Nyak Umar hanya berhasil meraih 31.366 suara. Kalah jauh dari rivalnya pasangan Aminullah Usman - Zainal Arifin yang meraup 63.087 suara.

Saat memimpin, Illiza sadar perlu ada kebijakan yang merespon kebutuhan perempuan di Kota Banda Aceh. Salah satunya, membentuk forum Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena) berdasarkan Peraturan Wali Kota Banda Aceh Nomor 25 Tahun 2009.

Lembaga ini berguna untuk mendorong Banda Aceh sebagai kota ramah gender. Inisiatif ini membawa Pemerintah Kota Banda Aceh menyabet penghargaan Innovative Government Award 2012 kategori tata kelola pemerintahan dari Kementerian Dalam Negeri.

Selama kepemimpinannya, Kota Banda Aceh juga memiliki Balee Inong, lembaga tempat berkumpulnya perempuan yang anggotanya merupakan perwakilan perempuan dari masing-masing gampong. Tujuannya untuk mewujudkan masyarakat perempuan yang mandiri, produktif, sejahtera, dan partisipatif dalam pembangunan.

Namun, hal ini tidak cukup memikat perempuan yang punya hak suara. Salah satu alasannya, kebijakan Musrena kurang berdampak bagi perempuan. Dalam artikel “Kebijakan Responsif Gender dan Pilihan Politik Perempuan (Suatu Penelitian Terhadap Kekalahan Illiza Sa’aduddin Djamal dalam Pilkada Kota Banda Aceh Tahun 2017) yang dimuat di Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 3, 2018 menyebutkan Musrena hanya memberikan akses bagi kaum perempuan menyampaikan aspirasinya, tetapi tidak dikawal hingga terealisasi. 

Kerja pengarusutamaan gender dalam pemerintahan memang tidak mudah. Saat ini masih ditemukan kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan yang berdampak pada masih konstannya Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencatat situasi ini berdampak pada masih rendahnya  nilai perempuan terhadap angka Indeks Pembangunan Gender (IPG). Begitu pula dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang mengukur peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik.

Selain itu, kebijakan pengaturan jam malam bagi perempuan yang dikeluarkan di era kepemimpinan Illiza, dianggap bias gender dan diskriminatif. Ini mengundang kontroversi dan mempengaruhi keterpilihan Illiza pada 2017 (Mauliza, 2018).

Ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Illiza juga tergambar dalam penelitian yang dibuat Shahibul Izar dan Effendi Hasan (2018). Penelitian yang bertajuk “Analisis Kegagalan Illiza Saaduddin Djamal pada Pilkada Kota Banda Aceh tahun 2017 (Studi Pemilih Kota Banda Aceh)”, menyebutkan ketidakpuasan warga sebesar 77% antara lain karena masalah air bersih. Visi misi yang ditawarkan oleh Illiza juga dianggap tidak sesuai dengan masyarakat kota Banda Aceh yang lebih pragmatis.

Effendi Hasan, dosen ilmu politik yang juga Wakil Dekan Akademik FISIP Universitas Syiah Kuala saat diwawancarai 28 September lalu menyatakan, rata-rata pemilih di Kota Banda Aceh adalah pemilih rasional. Mereka, jelas Effendi yang memang banyak meneliti politik lokal dan pemilu, memilih pemimpin berdasarkan visi misi yang ditawarkan, meski terkadang indikator seperti kampanye hitam bisa membalikkan prediksi perolehan suara.

“Biasanya pemilih rasional tidak terpengaruh dengan isu kampanye, namun pada kenyataannya, saat Illiza maju pada Pilkada 2017, dirinya kalah karena adanya isu kampanye hitam, dan itu memang sengaja dilakukan oleh juru kampanye dari pihak lawan untuk mempengaruhi masyarakat,” ucap Effendi.

Studi Shahibul Izar dan Effendi Hasan (2018) menyatakan isu gender menyumbang  54% pemilih tidak memilih Illiza-Farid pada Pilkada 2017. Isu larangan pemimpin perempuan ini cukup efektif, lantaran warga kota Banda Aceh sensitif dengan isu agama.

Effendi menambahkan tidak terpilihnya perempuan dalam Pilkada Aceh juga disebabkan oleh budaya patriarki yang masih kental, di mana perempuan tidak boleh memimpin. Jika budaya patriarki ini dibumbui kampanye hitam terhadap calon perempuan pemimpin, maka dengan sangat cepat bisa mempengaruhi suara pemilih.

Penelitian Mauliza dan Fadlia (2018) juga menyebutkan budaya patriarki di masyarakat Aceh dan kampanye negatif yang menyerang Illiza mempengaruhi perolehan suara. Kala itu, Tim Illiza-Farid lebih banyak mengklarifikasi isu kampanye negatif soal larangan perempuan menjadi pemimpin ketimbang mengkampanyekan visi misi dan rekam jejak yang dimiliki.

Hingga kini, isu perempuan menjadi pemimpin masih mengundang pro dan kontra. Studi Izar dan Hasan juga menyebutkan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tidak punya  kejelasan sikap soal boleh tidaknya perempuan memimpin dalam pemerintahan menurut  ajaran Islam. 

Dalam konteks Pilkada 2024, Effendi Hasan melihat, faktor-faktor penyebab kegagalan Illiza pada Pilkada 2017 bisa saja hilang. Peneliti pemilu Universitas Syiah Kuala ini memproyeksikan, Pilkada kali ini akan berlangsung sengit, karena semua calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh 2024 adalah figur yang sudah berpengalaman di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif. Isu perempuan pemimpin dan budaya patriarki menurutnya, tidak akan berpengaruh pada perolehan suara nanti, karena kampanye hitam yang dihembuskan kala itu, tidak terbukti.

“Misalnya soal macetnya air bersih. Ketika laki-laki memimpin ternyata masalah itu juga tidak terselesaikan dengan baik, begitu juga dengan pelanggaran syariat Islam juga masih terjadi di Kota Banda Aceh,” tambah Effendi.

Tak hanya itu, potensi kemenangan yang bakal diraih Illiza, salah satunya lantaran program beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) untuk anak-anak Aceh, yang digagas saat menjadi anggota Komisi X DPR RI periode 2019-2024. Politisi PPP ini mengklaim, ada ratusan penerima beasiswa selama 5 tahun ini.

“Saya melihat Illiza ini sudah ada suara badan (loyalis), tinggal diperkuat lagi dengan suara-suara yang sudah bosan dengan kepemimpinan yang lama. Apalagi jika dia tetap akan memperjuangkan beasiswa pendidikan untuk anak-anak kota Banda Aceh, ini bisa menjadi potensi besar bagi Illiza,” kata Effendi.

Aceh adalah satu-satunya daerah yang melegalkan pelaksanaan syariat Islam di Indonesia, sehingga pandangan para ulama di Aceh tentang kepemimpinan perempuan sangat didengar. Pada 2014, studi Marzuki dari Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh yang melakukan jajak pendapat terhadap ulama Aceh menemukan, ulama Pesantren di Aceh punya dua pandangan.

Dalam urusan syariah, para ulama sepakat tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin, seperti menjadi imam shalat dan khatib Jumat. Sedangkan dalam urusan muamalah, perempuan boleh menjadi pemimpin, hingga menduduki jabatan legislatif dan eksekutif.

Kedua, ulama pesantren di Aceh yang pada dasarnya melarang atau tidak membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin. Namun, apabila ada perempuan yang mencalonkan diri dan ia mempunyai kemampuan serta dijamin ilmu agamanya, maka hal ini tidak masalah.

Illiza  mengakui saat dia mencalonkan diri pada 2017, isu perempuan tidak boleh memilih, marak dikampanyekan. Ia menjelaskan waktu itu ibu-ibu di Kota Banda Aceh mempunyai semangat tinggi mengikuti kajian-kajian dan majelis taklim. Pandangan tentang  perempuan pemimpin dalam Islam menyebabkan banyak perempuan tidak hadir di TPS karena mereka merasa tidak ada pilihan.

“Saya bertanya, apakah Anda memilih saya waktu itu? Mereka menjawab, saya tidak datang ke TPS," kenang Illiza.

Dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada 2017 tercatat ada 151.105 pemilih. Sebanyak 76.341 pemilih perempuan dan 74.764 pemilih laki-laki di Banda Aceh. Sementara yang memilih, hanya sekitar 96 ribu. Artinya, yang memilih tidak memberikan suaranya ada sekitar 36%. Itupun, sebanyak 2.148 suara dinyatakan tidak sah.

Illiza menyadari perempuan kerap dianggap sebagai pelengkap. Ini jadi alasannya memimpikan Banda Aceh yang inklusif, untuk semua.

“Kita terus berjuang, mudah-mudahan diridhoi Allah, terutama untuk perempuan di Kota Banda Aceh. Kita harus melayani semua orang, siapa pun itu, tanpa membeda-bedakan. Kota Banda Aceh ini sangat majemuk,” jelas dia.          

Hal ini yang membuat cucu ​Zainal Bakri yang pernah menjadi Residen Banda Aceh, Bupati Aceh Besar, dan Aceh Timur ini, tak jera berpolitik walau pernah kalah dalam kontestasi. Illiza percaya, peran perempuan dalam politik dan kepemimpinan amat penting.

Perempuan lain yang maju dalam Pilkada Aceh 2024 adalah Afridawati, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Simeulue, yang berpasangan dengan Amin Haris. Afridawati, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati Simeulue periode 2017-2022, ingin melanjutkan pembangunan di bidang pertanian, perikanan, dan infrastruktur.

Sebagai perempuan, Afridawati juga merasa lebih peka terhadap keluhan masyarakat, terutama kaum ibu. Ada ibu-ibu pernah berkata kepadanya, mungkin lebih mudah menyampaikan keluh kesah kepada pemimpin yang perempuan.

“Saya siap mendengarkan dan melayani masyarakat," kata Afridawati.

Ada pula Nurhayati yang maju sebagai calon Wakil Bupati Simeulue, serta Meutia Apriani yang mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota Langsa.

Perempuan Pemimpin di Aceh, Bukan Hal Baru

Perempuan pemimpin di Aceh, sebenarnya bukan hal baru. Jika merujuk sejarah, beberapa perempuan Aceh pernah menjadi Ratu. Ratu dalam era modern, setara dengan kepala negara.            

Fatimah Mernissi dalam bukunya yang berjudul The Forgotten Queens of Islam menulis, ada lima belas penguasa muslim perempuan yang pernah jaya sebagai pemimpin. Feminis muslim asal Maroko ini menyebutkan empat perempuan pemimpin Aceh (Ratu Aceh): Sultanah Tajd al-’Alam Safiyyat al-Din Shah, Sultanah Nur al-’Alam Nakiyyat al-Din Shah, ’Innayat Shah Zakiyyat al-Din Shah, dan Kamalat Shah (Lailatussaadah, 2017),

Selain itu, juga tercatat beberapa nama perempuan yang harum dalam kancah pemerintahan Aceh. Diantaranya, Puteri Lindung Bulan (1353-1398 M) yang membantu ayahnya, Raja Negeri Benua Tamieng sebagai Perdana Menteri.  Puteri Pahang atau Puteri Kamaliah berperan sebagai penasehat Sultan Iskandar Muda.

Kemudian ada Safiatuddin, pemimpin perempuan pertama Kesultanan Aceh. Ia anak tertua Sultan Iskandar Muda (1607-‎1636), pemimpin terbesar Kesultanan Aceh. Putri bergelar Safiatuddin Tajul Alam ini dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan di atas rata-rata. Berkat pemahamannya yang luas, ia diangkat menjadi sultanah atau pemimpin Kesultanan Aceh pada 1641 hingga 1675. Di masa kepemimpinannya, ia membawa Kesultanan Aceh pada kejayaan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan.

Perempuan juga Layak Memimpin

Sejarah Aceh menunjukkan ada banyak perempuan pemimpin, seperti pahlawan nasional, Cut Nyak Dhien. Syifa Urrachmah, seorang guru dengan disabilitas di SMA Negeri 12, Banda Aceh berpendapat  lembaran sejarah itu membuktikan perempuan di Aceh mampu memimpin.

“Banyak perempuan Aceh menjadi pemimpin, bahkan banyak kepala sekolah yang perempuan. Selama dia bisa bertanggung jawab, kenapa tidak?” ujar Syifa.

Menurutnya, perempuan dan laki-laki memiliki hak sama untuk memimpin. Yang terpenting amanah dan menepati janji-janjinya kepada rakyat.

“Pemimpin ideal itu adalah yang bisa menomorsatukan rakyat, bukan kepentingan pribadi. Tidak masalah apakah dia laki-laki atau perempuan, yang penting dia amanah dan bertanggung jawab,” jelas Syifa.

Aliyul Himam, anggota Yayasan Aceh Bergerak, perkumpulan para kreator di Aceh, sependapat dengan Syifa. Saat ditemui 18 September lalu, lulusan Hukum Ekonomi Syariah UIN Ar-Raniry ini menyatakan, perempuan layak memimpin sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Aliyul punya alasan kuat perempuan layak menjadi kepala daerah. Sebab, jumlah perempuan yang memberikan suaranya tak kalah banyak dari laki-laki di Aceh dan tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin.

“Saya rasa kita harus berbenah ya, jangan terlalu kaku dalam mendefinisikan perempuan tidak boleh memimpin. Selama ini kita di-framing-kan bahwa agama tidak membolehkan perempuan memimpin. Saya melihat khususnya pemuda, kini mereka mulai terbuka pikirannya,” ungkapnya.

Aliyul tidak sependapat dengan beberapa kelompok yang mendiskreditkan kaum perempuan dengan label tidak bisa memimpin, tidak bisa apa-apa, dan hanya bisa di rumah. Ia justru berpendapat, perempuan harus ikut berkontestasi baik dalam pilkada, pileg di daerah dan nasional.

“Banyak ni aspirasi-aspirasi perempuan itu tidak didengarkan oleh kepemimpinan laki-laki. Soal visi misi itu juga termasuk,” ujarnya.

Sependapat dengan Aliyul, seorang pengusaha kue kering di Kota Banda Aceh, Yulia Rohana, menyatakan setuju bila ada perempuan yang memimpin Aceh, 18 September lalu. “Misalnya mohon bantuan untuk Ibu PKK, pelaku usaha seperti saya jadi bisa curhat langsung. Kalau sama laki-laki kan terbatas ketemu dan ngobrol langsung,” jelas Yulia.

Guru Besar Filsafat Islam: Perempuan Tidak Dilarang Berpolitik di Aceh

Guru besar Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof. Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag, menyebutkan Aceh, yang menerapkan syariat Islam dan punya sejarah politik yang kompleks, menghadapi tantangan unik ketika bicara tentang kepemimpinan perempuan.

"Saya tidak melihat dalam perspektif fiqih secara kaku. Pemilihan pemimpin di Indonesia, termasuk Aceh, dilakukan melalui sistem demokrasi," jelasnya, 5 September lalu.

Menurut Ketua Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Aceh ini  kepemimpinan perempuan seharusnya tidak menjadi pro kontra, tetapi diterima sebagai bagian dari perkembangan zaman. Syamsul menekankan pentingnya memahami kesetaraan gender dalam tanggung jawab sosial.

“Dalam mengelola masyarakat dan mendidik anak, perempuan memiliki peran yang signifikan. Ada adagium yang mengatakan, ibu adalah madrasah pertama. Artinya, perempuan punya tempat penting dalam masyarakat,” tuturnya.

Gaya kepemimpinan perempuan yang cenderung lebih komunikatif dan empatik, menurutnya, merupakan aset berharga dalam dunia politik. Ini juga memperkaya proses pengambilan keputusan yang inovatif.

Namun, perempuan mempunyai tantangan yang tidak bisa diabaikan. Beban ganda, baik sebagai pemimpin publik maupun beban tanggung jawab domestik, masih menjadi kendala besar.

"Persoalan domestik seringkali membuat perempuan dianggap hanya pantas berada di rumah. Ini harus dipahami dengan perspektif lebih luas," kata Syamsul.

Ia menegaskan perempuan dan laki-laki sama-sama dapat berperan dalam kepemimpinan.

Namun, mengapa perempuan jarang terpilih menjadi pemimpin di Aceh? Syamsul mengakui dalam Pilkada Aceh setelah MoU Helsinki — kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 yang menandai berakhirnya konflik bersenjata di Aceh — hanya segelintir perempuan yang berhasil menjadi kepala daerah, salah satunya Illiza.

Menurut Syamsul, ini terjadi tidak hanya karena minimnya dukungan. “Banyak faktor yang menentukan keberhasilan seseorang menjadi pemimpin. Visi dan misi harus relevan dengan konteks pemilihan saat itu, serta bagaimana mesin politik bekerja untuk mendukung calon tersebut,” jelasnya.

Ia mengakui masyarakat sering lebih condong mendukung laki-laki karena dianggap memiliki bargaining power lebih kuat. Namun, ia menolak anggapan perempuan tidak terpilih karena kodrat.

"Ini bukan soal kodrat. Ini tentang bagaimana seorang pemimpin mampu mengangkat nilai-nilai keislaman dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," tegasnya.

Karena itulah, Syamsul menekankan bahwa perempuan tidak dilarang untuk berpolitik di Aceh. Ia mencontohkan Laksamana Malahayati, seorang pemimpin perempuan yang muncul dalam kondisi darurat sejarah. "Kalau dalam keadaan tersudut perempuan bisa tampil, kenapa dalam keadaan normal tidak?"

Syamsul berpendapat, laki-laki dan perempuan memiliki hak sama untuk tampil di berbagai dimensi kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, dan politik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kata Hati Institute, Raihal Fajri menyatakan perempuan yang maju dalam Pilkada Aceh itu punya dua tantangan, internal dan eksternal dari partai politik pengusung mereka. Kata Hati Institute adalah lembaga yang memfokuskan diri pada persoalan gender, hak asasi manusia maupun perwujudan tata pemerintahan yang bersih.

Bagi calon perempuan yang memilih jalur independen, tantangan utamanya adalah penerimaan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan nasional. Sementara, calon yang diusung partai politik menghadapi tantangan lebih kompleks. Partai politik di Indonesia masih sering belum memberikan posisi setara bagi perempuan dan laki-laki yang menjadi kandidat pemimpin.

"Perempuan harus melakukan personal branding dua kali lipat dibanding laki-laki untuk bisa diterima," ungkapnya 3 September lalu.

Raihal mengingatkan dalam Pilkada sebelumnya, ada kandidat perempuan yang diserang melalui kampanye hitam berbasis agama. Tiba-tiba muncul spanduk dengan potongan hadis yang menyudutkan perempuan sebagai pemimpin.

"Itu bagian dari strategi untuk menghambat calon perempuan," jelasnya.

Budaya patriarki yang masih kuat di Aceh menambah beban calon perempuan. Mereka harus bisa menunjukkan kemampuan politik dan visi-misi mereka, serta harus melawan stigma sosial yang menganggap perempuan tidak pantas memimpin.

Selain itu Raihal menyoroti strategi politik uang juga menjadi kendala besar. Perempuan sering tidak memiliki kekuatan ekonomi atau jaringan yang setara dengan laki-laki.

Namun, ia melihat ada potensi besar bagi perempuan meraih kemenangan dalam Pilkada Aceh. Salah satu alasannya, peran penting Gen Z yang jumlahnya mencapai 60 persen dari total pemilih.

"Generasi Z ini lebih visual. Mereka ingin melihat pemimpin perempuan yang aktif di media sosial," katanya.

Raihal berharap lebih banyak perempuan berani tampil dan maju sebagai calon pemimpin di Aceh. Ia menekankan meskipun jalur politik bagi perempuan tidak dimulai dengan kesempatan yang sama seperti laki-laki, secara kemampuan, perempuan memiliki potensi yang setara.

Kampanye Perempuan Tidak Boleh Memimpin, Masif di Media Sosial

Di media sosial, muncul kampanye yang menyebutkan perempuan tidak boleh memimpin di Aceh. Misalnya, respon terhadap akun IG @sekilasaceh milik portal berita di Aceh yang memberitakan soal Illiza Bidik Anak Muda untuk Menjadi Wakilnya,

Di situ, muncul komentar-komentar yang mendiskreditkan rencana Illiza menjadi Wali Kota Banda Aceh. Misalnya, “Ibuk aja jadi wakil, jangan jadi kepala daerah, kepala rumah tangga saja tidak boleh apalagi kepala daerah yang terdapat banyak kepala keluarga di dalamnya, kalau ibu jadi dewan ataupun wakil saya akan pilih ibuk”.

Sedangkan akun @acehworldtimenews menurunkan postingan, “Sah DPP Partai Demokrat Resmi Rekomendasikan Illiza Saaduddin Djamal Maju sebagai Calon Wali Kota Banda Aceh 2024-2029”. Sejumlah netizen menanggapi dengan komentar negatif, misalnya, “Lebih baik laki-laki memimpin DP perempuan”.

Ada pula yang menuliskan dengan bahasa Aceh, “Loen tetap pileuh pemimpin sesuai hadist nyoe, tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” (HR. Bukhari No 4425). Ada pula yang menulis, “Pue hana le agam sagoe nyan, kajeut yue pakek rok aju mandum”, artinya itu tidak setuju Aceh dipimpin oleh perempuan.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslih) Banda Aceh Ad Hoc, Indra Milwady mengakui, larangan perempuan menjadi pemimpin di Aceh, kerap dijadikan bahan untuk menyerang kandidat perempuan. Ia menekankan tidak ada aturan khusus dalam Undang-Undang Pemilu maupun Qanun Pilkada yang membatasi perempuan untuk maju sebagai calon kepala daerah.

“Aturan di Aceh hanya mengatur calon kepala daerah harus beragama Islam dan mampu membaca Al-Qur’an, tidak ada larangan berdasarkan gender,” jelas Indra.

Namun, tantangan utama bagi calon perempuan dalam Pilkada Aceh adalah kampanye hitam yang mengangkat isu agama dan tradisi lokal untuk mendiskreditkan perempuan.

“Politik sering kali mencari kelemahan lawan, termasuk memanfaatkan interpretasi agama yang salah untuk menyerang kandidat perempuan,” tambahnya.

Indra mengakui pengawasan terhadap kampanye di media sosial menjadi tantangan terbesar dalam Pilkada kali ini. Meski aturan KPU membatasi jumlah akun resmi yang dapat digunakan peserta pemilu, pengawasan terhadap akun pribadi atau perorangan sulit dilakukan.

Panwaslih Banda Aceh berencana mempelajari lebih dalam aturan mengenai larangan kampanye hitam berbasis SARA dan gender untuk memastikan tindakan pencegahan dapat dilakukan.

“Jika nanti ditemukan pelanggaran terkait ujaran kebencian terhadap calon perempuan, kami akan mengambil langkah sesuai aturan yang berlaku. Ini bisa masuk ke ranah pidana atau sengketa antar peserta pemilu,” tegas Indra.

Pihaknya berharap masyarakat mau proaktif melaporkan kampanye hitam yang merugikan salah satu calon.

Pilkada Aceh 2024, menjadi arena politik yang penuh tantangan bagi perempuan yang ingin maju sebagai calon pemimpin. Seperti disampaikan Raihal Fajri, laki-laki dan perempuan punya ruang tarung yang sama dalam Pilkada.

“Yang perlu diubah adalah cara pandang kita terhadap calon perempuan. Pertarungan kandidat adalah soal gagasan, bukan jenis kelamin," tegasnya. (*)

"Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit,  tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa."

Nova Misdayanti - Catat.co 

Untuk membaca artikel lengkap dari penulis, silakan klik link berikut